Kamis, 23 Februari 2017

Refleksi 18 Tahun Era Reformasi

Refleksi 18 Tahun Era Reformasi

Refleksi 18 tahun era reformasi, diawali tumbangnya kekuasan orde baru yang ditandai pengunduran diri presiden Soeharto dari tampuk kekuasan setelah hampir 32 tahun berkuasa, tepatnya 21 Mei 1998. Banyak catatan-catatan plus minus yang perlu dimaknai setelah 18 tahun bangsa Indonesia memasuki era reformasi, yang menarik dan terbaru dalam rangka refleksi 18 tahun era reformasi adalah hasil survey indo barometer  menyimpulkan ternyata RAKYAT INDONESIA MERINDUKAN SOEHARTO.
Agak kontroversial memang, disaat para elit politik saat ini mencoba mengungkit-ungkit kejahatan Soeharto dan kroni-kroninya bahkan tidak cukup hanya itu semua ajaran yang berbau orde baru harus dibumi hanguskan, ternyata setelah 18 tahun rakyat tidak mendapatkan manfaat apapun dari era reformasi kecuali hanya segelintir orang yang memiliki uang, jadi wajarlah kalau kemudian rakyat merindukan Soeharto.
Survey yang dilakukan indo barometer dengan membanding-bandingkan era reformasi dengan orede baru dianggap terlalu berani, apalagi hasilnya sangat bertentangan dengan penguasa reformasi tentu ini menimbulkan perdebatan yang luar biasa, malah tidak sedikit yang meragukan hasil survey itu bahkan kalangan elit politik menganggap hasil survey itu dinilai tidak rasional dan tidak sesuai dengan kenyataan. Salah satunya elit politik  yang menganggap dirinya reformis, didepan diskusi interaktif  Pak Amin Rais memaparkan tentang kejahatan  orde baru dan keberhasilan perjalanan reformasi, yang menarik kata pak Amin pada saat beliau menjadi ketua MPR telah melakukan 4 kali amandemen UUD 1945, dan menghapus dwi fungsi ABRI, kemudian kejahatan orde baru yang diungkapkannya yakni adanya petrus, dan menghapus sistem sentralistik dan menggantinya dengan desentralisasi.
Terlepas dari apapun hasil survey yang dilakukan indo barometer, setelah 18 tahun reformasi bergulir kalau para elit sedikit saja mau mendengar jeritan rakyat, sebenarnya rakyat  tidak menuntut yang muluk-muluk. intinya mereka menginginkan rasa aman, dan ketersediaan sembako dengan harga terjangkau.
Kalau mungkin dari kacamata pak Amin Rais petrus itu sebuah kejahatan kemanusiaan yang dilakukan orde baru, tapi dari kacamata rakyat secara keseluruhan, rakyat menerimanya dengan sebuah kondisi terciptanya suasana rasa aman diamana-mana, tidak seperti sekarang perampokan, pembegalan meraja lela, polisi seperti tidak berdaya menghadapi kejahatan ini. Didesa-desa atau kampung kalau ada penduduk yang menjual hasil panen jangan berharap pada malamnya ia bisa tidur nyenyak, demikian pula jika ada yang menggelar hajatan atau pesta pada malamnya jangan berharap ia akan dapat beristirahat tenang, salah-salah kotak sumbangan yang berisi amplop undangan bisa lepas dari pandangan mata, belum lagi jika pada waktu jaman orba orang bawa kendaraan jam berapapun tidak ada rasa khawatir untuk dibegal karena pelakunya bisa dipetrus, tapi sekarang jangankan malam hari siang haripun jangan coba-coba bawa kendaraan sendirian ditempat sepi lagi, pasti kalau tidak motor melayang nyawa yang melayang.
Masih kata pak Amin lagi sekarang ini desentralisasi lebih baik dibanding jaman orde baru yang sentralistik, istilah kerennya jaman otonomi daerah. Padahal sekarang ini rakyat didaerah hidup seperti dizaman penjajah karena setiap yang dilakukan masyarakat selalu dikejar-kejar dengan yang namanya PAJAK, sekarang ini apa sih yang kena pajak (pungutan) makan nasi dipinggir jalan aja kena pajak apalagi parkir kendaraan udah dihitung pake waktu lagi, alasan sangat sepele demi ngejar setoran yang namanya PAD, pemerintah daerah genjot habis rakyatnya untuk narikin pajak, ujung-ujungnya otonomi daerah cuma menciptakan raja-raja kecil didaerah dengan menggenjot habis rakyatnya, persis hidup dizaman penjajah, cuma bedanya dikit waktu narikin pajak petugasnya nggak pake moncong senapan.
Satu lagi yang dibangga-banggakan Pak Amin dengan reformasinya, yaitu penghapusan dwi fungsi ABRI, sebenarnya kalau dikaitkan dengan teori enviroment (Alexander Van Homblodt) yang mengklasifikasi prilaku masyarakat berdasarkan lingkungan, orang Asia dimana didalamnya termasuk Indonesia umumnya memiliki semangat juang yang sangat lemah, malas dan cenderung senang diperintah tetapi memiliki inteletualtual dan temparemen tinggi. Nah, kalau dikaitkan dengan teori ini sepertinya rakyat Indonesia masih layak dipimpin oleh militer, biar rakyat Indonesia itu tidak malas, punya semangat  disiplin tinggi dan pemerintah punya wibawa, tidak seperti sekarang pemerintah dianggap kurang wibawa, masak orang lebih mendengar omongan Ibu Megawati dari pada omongan Presidennya. contoh lain sekarang ini sesuatu yang benar, padahal memang benar tapi bisa jadi salah kalau didemo, dan yang salah bisa jadi benar kalau pake demo, maka para pendemo sekarang ini kalau tuntutannya tidak terpenuhi pasti pake ancaman akan mengerahkan massa yang lebih besaaaar lagi, kenapa ini terjadi karena masyarakat kita kurang disiplin, dan supaya disiplin ya harus gaya militer bukan dengan gaya sipil yang cocok cabut kalau didemo.
 Terlepas kita banding-bandingkan mana yang lebih baik antara orde baru dengan orde reformasi, yang jelas orde baru sudah selesai, sekarang bangsa Indonesia memasuki orde reformasi, tidak mungkin rasanya kita harus kembali ke zaman orde baru. Di era perjalaan 18 reformasi, hasil survey indo barometer terlepas  ada yang kurang atau tidak barangkali menjadi arif kalau itu dijadikan semacam referensi bahwa ternyata masih ada yang kurang setelah 18 tahun reformasi bergulir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar