Refleksi 18 Tahun Era Reformasi
Refleksi
18 tahun era reformasi, diawali tumbangnya kekuasan orde baru yang ditandai
pengunduran diri presiden Soeharto dari tampuk kekuasan setelah hampir 32 tahun
berkuasa, tepatnya 21 Mei 1998. Banyak catatan-catatan plus minus yang perlu
dimaknai setelah 18 tahun bangsa Indonesia memasuki era reformasi, yang menarik
dan terbaru dalam rangka refleksi 18 tahun era reformasi adalah hasil survey
indo barometer menyimpulkan ternyata RAKYAT INDONESIA MERINDUKAN
SOEHARTO.
Agak
kontroversial memang, disaat para elit politik saat ini
mencoba mengungkit-ungkit kejahatan Soeharto dan kroni-kroninya bahkan tidak
cukup hanya itu semua ajaran yang berbau orde baru harus dibumi hanguskan,
ternyata setelah 18 tahun rakyat tidak mendapatkan manfaat apapun dari era
reformasi kecuali hanya segelintir orang yang memiliki uang, jadi wajarlah
kalau kemudian rakyat merindukan Soeharto.
Survey
yang dilakukan indo barometer dengan membanding-bandingkan era reformasi dengan
orede baru dianggap terlalu berani, apalagi hasilnya sangat bertentangan dengan
penguasa reformasi tentu ini menimbulkan perdebatan yang luar biasa, malah
tidak sedikit yang meragukan hasil survey itu bahkan kalangan elit politik
menganggap hasil survey itu dinilai tidak rasional dan tidak sesuai dengan
kenyataan. Salah satunya elit politik yang menganggap dirinya reformis,
didepan diskusi interaktif Pak Amin Rais memaparkan tentang kejahatan
orde baru dan keberhasilan perjalanan reformasi, yang menarik kata pak
Amin pada saat beliau menjadi ketua MPR telah melakukan 4 kali amandemen UUD
1945, dan menghapus dwi fungsi ABRI, kemudian kejahatan orde baru yang
diungkapkannya yakni adanya petrus, dan menghapus sistem sentralistik dan
menggantinya dengan desentralisasi.
Terlepas
dari apapun hasil survey yang dilakukan indo barometer, setelah 18 tahun
reformasi bergulir kalau para elit sedikit saja mau mendengar jeritan rakyat,
sebenarnya rakyat tidak menuntut yang muluk-muluk. intinya mereka
menginginkan rasa aman, dan ketersediaan sembako dengan harga terjangkau.
Kalau
mungkin dari kacamata pak Amin Rais petrus itu sebuah kejahatan kemanusiaan
yang dilakukan orde baru, tapi dari kacamata rakyat secara keseluruhan, rakyat
menerimanya dengan sebuah kondisi terciptanya suasana rasa aman diamana-mana,
tidak seperti sekarang perampokan, pembegalan meraja lela, polisi seperti tidak
berdaya menghadapi kejahatan ini. Didesa-desa atau kampung kalau ada penduduk
yang menjual hasil panen jangan berharap pada malamnya ia bisa tidur nyenyak,
demikian pula jika ada yang menggelar hajatan atau pesta pada malamnya jangan
berharap ia akan dapat beristirahat tenang, salah-salah kotak sumbangan yang
berisi amplop undangan bisa lepas dari pandangan mata, belum lagi jika pada
waktu jaman orba orang bawa kendaraan jam berapapun tidak ada rasa khawatir
untuk dibegal karena pelakunya bisa dipetrus, tapi sekarang jangankan malam
hari siang haripun jangan coba-coba bawa kendaraan sendirian ditempat sepi
lagi, pasti kalau tidak motor melayang nyawa yang melayang.
Masih
kata pak Amin lagi sekarang ini desentralisasi lebih baik dibanding jaman orde
baru yang sentralistik, istilah kerennya jaman otonomi daerah. Padahal sekarang
ini rakyat didaerah hidup seperti dizaman penjajah karena setiap yang dilakukan
masyarakat selalu dikejar-kejar dengan yang namanya PAJAK, sekarang ini apa sih
yang kena pajak (pungutan) makan nasi dipinggir jalan aja kena pajak apalagi
parkir kendaraan udah dihitung pake waktu lagi, alasan sangat sepele demi
ngejar setoran yang namanya PAD, pemerintah daerah genjot habis rakyatnya untuk
narikin pajak, ujung-ujungnya otonomi daerah cuma menciptakan raja-raja kecil
didaerah dengan menggenjot habis rakyatnya, persis hidup dizaman penjajah, cuma
bedanya dikit waktu narikin pajak petugasnya nggak pake moncong senapan.
Satu
lagi yang dibangga-banggakan Pak Amin dengan reformasinya, yaitu penghapusan
dwi fungsi ABRI, sebenarnya kalau dikaitkan dengan teori enviroment (Alexander
Van Homblodt) yang mengklasifikasi prilaku masyarakat berdasarkan
lingkungan, orang Asia dimana didalamnya termasuk Indonesia umumnya memiliki
semangat juang yang sangat lemah, malas dan cenderung senang diperintah tetapi
memiliki inteletualtual dan temparemen tinggi. Nah, kalau dikaitkan dengan
teori ini sepertinya rakyat Indonesia masih layak dipimpin oleh militer, biar
rakyat Indonesia itu tidak malas, punya semangat disiplin tinggi dan
pemerintah punya wibawa, tidak seperti sekarang pemerintah dianggap kurang wibawa,
masak orang lebih mendengar omongan Ibu Megawati dari pada omongan Presidennya.
contoh lain sekarang ini sesuatu yang benar, padahal memang benar tapi bisa
jadi salah kalau didemo, dan yang salah bisa jadi benar kalau pake demo, maka
para pendemo sekarang ini kalau tuntutannya tidak terpenuhi pasti pake ancaman
akan mengerahkan massa yang lebih besaaaar lagi, kenapa ini terjadi karena
masyarakat kita kurang disiplin, dan supaya disiplin ya harus gaya militer
bukan dengan gaya sipil yang cocok cabut kalau didemo.
Terlepas
kita banding-bandingkan mana yang lebih baik antara orde baru dengan orde
reformasi, yang jelas orde baru sudah selesai, sekarang bangsa Indonesia
memasuki orde reformasi, tidak mungkin rasanya kita harus kembali ke zaman orde
baru. Di era perjalaan 18 reformasi, hasil survey indo barometer terlepas
ada yang kurang atau tidak barangkali menjadi arif kalau itu dijadikan
semacam referensi bahwa ternyata masih ada yang kurang setelah 18 tahun
reformasi bergulir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar