Kehidupan
Sosial Ekonomi Politik dan Pemerintahan Kerajaan - Kerajan Islam di Indonesia
A.Kerajaan
Samudera Pasai
1.
Kehidupan
Politik dan Pemerintahan
Kerajaan Samudra Pasai yang didirikan oleh Marah
Silu bergelar Sultan Malik al-Saleh, sebagai raja pertama yang memerintah tahun
1285-1297. Pada masa pemerintahannya, datang seorang musafir
dari Venetia (Italia) tahun 1292 yang bernama Marcopolo, melalui catatan
perjalanan Marcopololah maka dapat diketahui bahwa raja Samudra Pasai bergelar
Sultan. Setelah Sultan Malik al-Saleh wafat, maka pemerintahannya digantikan
oleh keturunannya yaitu Sultan Muhammad yang bergelar Sultan Malik
al-Tahir I (1297-1326). Pengganti dari Sultan Muhammad adalah Sultan Ahmad yang juga
bergelar Sultan Malik al-Tahir II (1326-1348). Pada masa ini pemerintahan Samudra Pasai
berkembang pesat dan terus menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan Islam di
India maupun Arab. Bahkan melalui catatan kunjungan Ibnu Batutah seorang utusan
dari Sultan Delhi tahun 1345 dapat diketahui Samudra Pasai merupakan pelabuhan
yang penting dan istananya disusun dan diatur secara India dan patihnya
bergelar Amir. Pada masa selanjutnya pemerintahan Samudra Pasai tidak banyak
diketahui karena pemerintahan Sultan Zaenal Abidin yang juga bergelar Sultan
Malik al-Tahir III kurang begitu jelas. Menurut sejarah Melayu, kerajaan
Samudra Pasai diserang oleh kerajaan Siam. Dengan demikian karena tidak adanya
data sejarah yang lengkap, maka runtuhnya Samudra Pasai tidak diketahui secara
jelas.
2.
Kehidupan
Ekonomi
Letak kerajaan samudera pasai yang strategis, maka Samudra Pasai berkembang sebagai
kerajaan Maritim, dan bandar transit. Dengan demikian Samudra Pasai
menggantikan peranan Sriwijaya di Selat Malaka.
Kerajaan Samudra Pasai memiliki hegemoni (pengaruh) atas
pelabuhan-pelabuhan penting di Pidie, Perlak, dan lain-lain. Samudra Pasai
berkembang pesat pada masa pemerintahan Sultan Malik al-Tahir II. Hal ini juga
sesuai dengan keterangan Ibnu Batulah. Menurut cerita Ibnu Batutah, perdagangan
di Samudra Pasai semakin ramai dan bertambah maju karena didukung oleh armada
laut yang kuat, sehingga para pedagang merasa aman dan nyaman berdagang di
Samudra Pasai.
Komoditi perdagangan dari Samudra yang penting adalah lada,
kapur barus dan emas. Dan untuk kepentingan perdagangan sudah dikenal uang
sebagai alat tukar yaitu uang emas yang dinamakan Deureuham (dirham).
3.
Kehidupan
Sosial
Kemajuan dalam bidang ekonomi membawa dampak pada
kehidupan sosial, masyarakat Samudra Pasai menjadi makmur. Dan di samping itu
juga kehidupan masyarakatnya diwarnai dengan semangat kebersamaan dan hidup
saling menghormati sesuai dengan syariat Islam. Hubungan antara Sultan
dengan rakyat terjalin baik. Sultan biasa melakukan musyawarah dan bertukar
pikiran dengan para ulama, dan Sultan juga sangat hormat pada para tamu yang
datang, bahkan tidak jarang memberikan tanda mata kepada para tamu.
Samudra Pasai mengembangkan sikap keterbukaan dan
kebersamaan. Salah satu bukti dari hasil peninggalan budayanya, berupa batu
nisan Sultan Malik al-Saleh dan jirat Putri Pasai.
B. Kerajaan Demak
1.
Kehidupan
Politik dan Pemerintahan
Lokasi kerajaan Demak yang strategis untuk perdagangan
nasional, karena menghubungkan perdagangan antara Indonesia bagian Barat dengan
Indonesia bagian Timur, serta keadaan Majapahit yang sudah hancur, maka Demak
berkembang sebagai kerajaan besar di pulau Jawa, dengan rajanya yang pertama
yaitu Raden Patah. Ia bergelar Sultan Alam Akbar al-Fatah (1500-1518).
Pada masa pemerintahannya Demak memiliki peranan yang penting dalam rangka
penyebaran agama Islam khususnya di pulau Jawa, karena Demak berhasil
menggantikan peranan Malaka, setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis 1511.
Kehadiran Portugis di Malaka merupakan ancaman bagi Demak
di pulau Jawa. Untuk mengatasi keadaan tersebut maka pada tahun 1513 Demak
melakukan penyerangan terhadap Portugis di Malaka, yang dipimpin oleh Adipati
Unus atau terkenal dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor.
Serangan Demak terhadap Portugis walaupun mengalami kegagalan namun Demak tetap
berusaha membendung masuknya Portugis ke pulau Jawa. Pada masa pemerintahan
Adipati Unus (1518-1521), Demak melakukan blokade pengiriman beras ke Malaka
sehingga Portugis kekurangan makanan.
Puncak kebesaran Demak terjadi pada masa
pemerintahan Sultan Trenggono(1521-1546), karena pada masa
pemerintahannya Demak memiliki daerah kekuasaan yang luas dari Jawa Barat
sampai Jawa Timur. Sultan Trenggono melakukan penyerangan terhadap
daerah-daerah kerajaan-kerajaan Hindu yang mengadakan hubungan dengan Portugis
seperti Sunda Kelapa (Pajajaran) dan Blambangan. Penyerangan terhadap Sunda
Kelapa yang dikuasai oleh Pajajaran disebabkan karena adanya perjanjian antara
raja Pakuan penguasa Pajajaran dengan Portugis yang diperkuat dengan pembuatan
tugu peringatan yang disebut Padrao. Isi dari Padrao tersebut adalah Portugis
diperbolehkan mendirikan Benteng di Sunda Kelapa dan Portugis juga akan
mendapatkan rempah-rempah dari Pajajaran.
Sebelum Benteng tersebut dibangun oleh Portugis, tahun 1526
Demak mengirimkan pasukannya menyerang Sunda Kelapa, di bawah pimpinan Fatahillah.
Dengan penyerangan tersebut maka tentara Portugis dapat dipukul mundur ke Teluk
Jakarta. Kemenangan gemilang Fatahillah merebut Sunda Kelapa tepat tanggal 22
Juni 1527 diperingati dengan pergantian nama menjadi Jayakarta yang
berarti Kemenangan Abadi.
Sedangkan penyerangan terhadap Blambangan (Hindu)
dilakukan pada tahun 1546, di mana pasukan Demak di bawah pimpinan Sultan
Trenggono yang dibantu oleh Fatahillah, tetapi sebelum Blambangan berhasil
direbut Sultan Trenggono meninggal di Pasuruan. Dengan meninggalnya Sultan
Trenggono, maka terjadilah perebutan kekuasaan antara Pangeran Sekar
Sedolepen (saudara Trenggono) dengan Sunan Prawoto (putra
Trenggono) dan Arya Penangsang (putra Sekar Sedolepen). Perang
saudara tersebut diakhiri oleh Pangeran Hadiwijaya (Jaka
Tingkir) yang dibantu oleh Ki Ageng Pemanahan, sehingga pada tahun
1568 Pangeran Hadiwijaya memindahkan pusat pemerintahan Demak ke Pajang.
Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Demak dan hal ini juga berarti
bergesernya pusat pemerintahan dari pesisir ke pedalaman.
2. Kehidupan Ekonomi
Seperti yang telah dijelaskan pada uraian materi
sebelumnya, bahwa letak Demak sangat strategis di jalur perdagangan nusantara
memungkinkan Demak berkembang sebagai kerajaan maritim. Dalam kegiatan
perdagangan, Demak berperan sebagai penghubung antara daerah penghasil rempah
di Indonesia bagian Timur dan penghasil rempah-rempah Indonesia bagian barat.
Dengan demikian perdagangan Demak semakin berkembang. Dan hal ini juga didukung
oleh penguasaan Demak terhadap pelabuhan-pelabuhan di daerah pesisir pantai
pulau Jawa.
Sebagai kerajaan Islam yang memiliki wilayah di
pedalaman, maka Demak juga memperhatikan masalah pertanian, sehingga beras
merupakan salah satu hasil pertanian yang menjadi komoditi dagang. Dengan
demikian kegiatan perdagangannya ditunjang oleh hasil pertanian, mengakibatkan
Demak memperoleh keuntungan di bidang ekonomi.
3. Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial dan budaya masyarakat Demak lebih
berdasarkan pada agama dan budaya Islam karena pada dasarnya Demak adalah pusat
penyebaran Islam di pulau Jawa. Sebagai pusat penyebaran Islam Demak menjadi
tempat berkumpulnya para wali seperti Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kudus
dan Sunan Bonar. Para wali tersebut memiliki peranan yang penting pada masa
perkembangan kerajaan Demak bahkan para wali tersebut menjadi penasehat bagi
raja Demak. Dengan demikian terjalin hubungan yang erat antara
raja/bangsawan-para wali/ulama dengan rakyat. Hubungan yang erat tersebut,
tercipta melalui pembinaan masyarakat yang diselenggarakan di Masjid maupun
Pondok Pesantren. Sehingga tercipta kebersamaan atau Ukhuwah Islamiyah
(persaudaraan di antara orang-orang Islam).
C.
Kerajaan
Mataram Islam
1.
Kehidupan
Politik dan Pemerintahan
Pendiri kerajaan Mataram adalah Sutawijaya.
Ia bergelar Panembahan Senopati, memerintah tahun (1586-1601). Pada awal pemerintahannya ia berusaha menundukkan
daerah-daerah seperti Ponorogo, Madiun, Pasuruan, dan Cirebon serta Galuh.
Sebelum usahanya untuk memperluas dan memperkuat kerajaan Mataram terwujud,
Sutawijaya digantikan oleh putranya yaitu Mas Jolang yang
bergelarSultan Anyakrawati tahun 1601-1613. Sebagai raja Mataram ia juga berusaha meneruskan
apa yang telah dilakukan oleh Panembahan Senopati untuk memperoleh kekuasaan
Mataram dengan menundukkan daerah-daerah yang melepaskan diri dari Mataram.
Akan tetapi sebelum usahanya selesai, Mas Jolang meninggal tahun 1613 dan
dikenal dengan sebutan Panembahan Sedo Krapyak. Untuk selanjutnya
yang menjadi raja Mataram adalah Mas Rangsang yang
bergelar Sultan Agung Senopati ing alogo Ngabdurrahman, yang
memerintah tahun 1613-1645. Sultan Agung merupakan raja terbesar dari kerajaan ini. Pada masa
pemerintahannya Mataram mencapai puncaknya, karena ia seorang raja yang gagah
berani, cakap dan bijaksana.
Pada tahun 1625 hampir seluruh pulau Jawa dikuasainya
kecuali Batavia dan Banten. Di samping mempersatukan berbagai daerah di pulau
Jawa, Sultan Agung juga berusaha mengusir VOC Belanda dari Batavia. Untuk itu
Sultan Agung melakukan penyerangan terhadap VOC ke Batavia pada tahun 1628 dan
1629 akan tetapi serangan tersebut mengalami kegagalan. Penyebab kegagalan
serangan terhadap VOC antara lain karena jarak tempuh dari pusat Mataram ke
Batavia terlalu jauh kira-kira membutuhkan waktu 1 bulan untuk berjalan kaki,
sehingga bantuan tentara sulit diharapkan dalam waktu singkat. Dan
daerah-daerah yang dipersiapkan untuk mendukung pasukan sebagai lumbung padi
yaitu Kerawang dan Bekasi dibakar oleh VOC, sebagai akibatnya pasukan Mataram
kekurangan bahan makanan. Dampak pembakaran lumbung padi maka tersebar wabah
penyakit yang menjangkiti pasukan Mataram, sedangkan pengobatan belum sempurna.
Hal inilah yang banyak menimbulkan korban dari pasukan Mataram. Di samping itu
juga sistem persenjataan Belanda lebih unggul dibanding pasukan Mataram.
Walaupun penyerangan terhadap Batavia mengalami
kegagalan, namun Sultan Agung tetap berusaha memperkuat penjagaan terhadap
daerah-daerah yang berbatasan dengan Batavia, sehingga pada masa
pemerintahannya VOC sulit menembus masuk ke pusat pemerintahan Mataram.
Setelah wafatnya Sultan Agung tahun 1645, Mataram tidak
memiliki raja-raja yang cakap dan berani seperti Sultan Agung, bahkan putranya
sendiri yaitu Amangkurat I dan cucunya Amangkurat II, Amangkurat III, Paku
Buwono I, Amangkurat IV, Paku Buwono II, Paku Buwono III merupakan raja-raja
yang lemah. Sehingga pemberontakan terjadi antara lain Trunojoyo 1674-1679,
Untung Suropati 1683-1706, pemberontakan Cina 1740-1748.
Kelemahan raja-raja Mataram setelah Sultan Agung
dimanfaatkan oleh penguasa daerah untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mataram
juga VOC. Akhirnya VOC berhasil juga menembus ke ibukota dengan cara
mengadu-domba sehingga kerajaan Mataram berhasil dikendalikan VOC. VOC berhasil
menaklukan Mataram melalui politik devide et impera, kerajaan Mataram dibagi
dua melalui perjanjian Gianti tahun 1755. Sehingga Mataram yang luas hampir
meliputi seluruh pulau Jawa akhirnya terpecah belah :
· Kesultanan
Yogyakarta, dengan Mangkubumi sebagai raja yang bergelar Sultan Hamengkubuwono
I.
· Kasunanan Surakarta
yang diperintah oleh Sunan Paku Buwono III.
Belanda ternyata belum puas memecah belah kerajaan
Mataram. Akhirnya melalui politik adu-domba kembali tahun 1757 diadakan
perjanjian Salatiga. Mataram terbagi 4 wilayah yaitu sebagian Surakarta
diberikan kepada Mangkunegaran selaku Adipati tahun 1757, kemudian sebagian
Yogyakarta juga diberikan kepada Paku Alam selaku Adipati tahun 1813.
2.
Kehidupan
Ekonomi
Letak kerajaan Mataram di pedalaman, maka Mataram
berkembang sebagai kerajaan agraris yang menekankan dan mengandalkan bidang
pertanian. Sekalipun demikian kegiatan perdagangan tetap diusahakan dan
dipertahankan, karena Mataram juga menguasai daerah-daerah pesisir. Dalam
bidang pertanian, Mataram mengembangkan daerah persawahan yang luas terutama di
Jawa Tengah, yang daerahnya juga subur dengan hasil utamanya adalah beras, di
samping kayu, gula, kapas, kelapa dan palawija. Sedangkan dalam bidang
perdagangan, beras merupakan komoditi utama, bahkan menjadi barang ekspor
karena pada abad ke-17 Mataram menjadi pengekspor beras paling besar pada saat
itu. Dengan demikian kehidupan ekonomi Mataram berkembang pesat karena didukung
oleh hasil bumi Mataram yang besar.
3.
Kehidupan
Sosial
Sebagai kerajaan yang bersifat agraris, masyarakat
Mataram disusun berdasarkan sistem feodal. Dengan sistem tersebut maka raja
adalah pemilik tanah kerajaan beserta isinya. Untuk melaksanakan pemerintahan,
raja dibantu oleh seperangkat pegawai dan keluarga istana, yang mendapatkan
upah atau gaji berupa tanah lungguh atau tanah garapan. Tanah lungguh tersebut
dikelola oleh kepala desa (bekel) dan yang menggarapnya atau mengerjakannya
adalah rakyat atau petani penggarap dengan membayar pajak/sewa tanah. Dengan
adanya sistem feodalisme tersebut, menyebabkan lahirnya tuan-tuan tanah di Jawa
yang sangat berkuasa terhadap tanah-tanah yang dikuasainya. Sultan memiliki
kedudukan yang tinggi juga dikenal sebagai panatagama yaitu pengatur kehidupan
keagamaan. Sedangkan dalam bidang kebudayaan, seni ukir, lukis, hias dan patung
serta seni sastra berkembang pesat. Hal ini terlihat dari kreasi para seniman
dalam pembuatan gapura, ukiran-ukiran di istana maupun tempat ibadah. Contohnya
gapura Candi Bentar di makam Sunan Tembayat (Klaten) diperkirakan dibuat pada
masa Sultan Agung.
Contoh lain hasil perpaduan budaya Hindu-Budha-Islam
adalah penggunaan kalender Jawa, adanya kitab filsafat sastra gending dan kitab
undang-undang yang disebut Surya Alam. Contoh-contoh tersebut merupakan hasil
karya dari Sultan Agung sendiri.
Di samping itu juga adanya upacara Grebeg pada hari-hari
besar Islam yang ditandai berupa kenduri Gunungan yang dibuat dari berbagai
makanan maupun hasil bumi. Upacara Grebeg tersebut merupakan tradisi sejak
zaman Majapahit sebagai tanda terhadap pemujaan nenek moyang.
D.
Kerajaan Banten
1.
Kehidupan
Politik dan Pemerintahan
Berkembangnya kerajaan Banten tidak terlepas dari peranan
raja-raja yang memerintah di kerajaan tersebut.Pada masa pemerintahan Maulana
Muhammad, perluasan wilayah Banten diteruskan ke Sumatera yaitu berusaha
menguasai daerah-daerah yang banyak menghasilkan lada seperti Lampung, Bengkulu
dan Palembang. Lampung dan Bengkulu dapat dikuasai Banten tetapi Palembang
mengalami kegagalan, bahkan Maulana Muhammad meninggal ketika melakukan
serangan ke Palembang.Dengan dikuasainya pelabuhan-pelabuhan penting di Jawa
Barat dan beberapa daerah di Sumatera, maka kerajaan Banten semakin ramai untuk
perdagangan, bahkan berkembang sebagai kerajaan maritim. Hal ini terjadi pada
masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Pemerintahan Sultan Ageng, Banten
mencapai puncak keemasannya Banten menjadi pusat perdagangan yang didatangi
oleh berbagai bangsa seperti Arab, Cina, India, Portugis dan bahkan Belanda.
Belanda pada awalnya datang ke Indonesia, mendarat di
Banten tahun 1596 tetapi karena kesombongannya, maka para pedagang-pedagang
Belanda tersebut dapat diusir dari Banten dan menetap di Jayakarta. Di
Jayakarta, Belanda mendirikan kongsi dagang tahun 1602. Selain mendirikan
benteng di Jayakarta, VOC akhirnya menetap dan mengubah nama Jayakarta menjadi
Batavia tahun 1619, sehingga kedudukan VOC di Batavia semakin kuat. Adanya
kekuasaan Belanda di Batavia, menjadi saingan bagi Banten dalam perdagangan.
Persaingan tersebut kemudian berubah menjadi pertentangan politik, sehingga
Sultan Ageng Tirtayasa sangat anti kepada VOC. Dalam rangka menghadapi
Belanda/VOC, Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan melakukan perang gerilya dan perampokan
terhadap Belanda di Batavia. Akibat tindakan tersebut, maka Belanda menjadi
kewalahan menghadapi Banten. Untuk menghadapi tindakan Sultan Ageng Tirtayasa
tersebut, maka Belanda melakukan politik adu-domba (Devide et Impera) antara
Sultan Ageng dengan putranya yaitu Sultan Haji. Akibat dari politik adu-domba
tersebut, maka terjadi perang saudara di Banten, sehingga Belanda dapat ikut
campur dalam perang saudara tersebut. Belanda memihak Sultan Haji, yang
akhirnya perang saudara tersebut dimenangkan oleh Sultan Haji. Dengan
kemenangan Sultan Haji, maka Sultan Ageng Tirtayasa ditawan dan dipenjarakan di
Batavia sampai meninggalnya tahun 1692. Dampak dari bantuan VOC terhadap Sultan
Haji maka Banten harus membayar mahal, di mana Sultan Haji harus menandatangani
perjanjian dengan VOC tahun 1684. Perjanjian tersebut sangat memberatkan dan
merugikan kerajaan Banten, sehingga Banten kehilangan atas kendali perdagangan
bebasnya, karena Belanda sudah memonopoli perdagangan di Banten. Akibat
terberatnya adalah kehancuran dari kerajaan Banten itu sendiri karena
VOC/Belanda mengatur dan mengendalikan kekuasaan raja Banten. Raja-raja Banten
sejak saat itu berfungsi sebagai boneka.
2.
Kehidupan
Ekonomi
Kerajaan Banten yang letaknya di ujung barat Pulau Jawa
dan di tepi Selat Sunda merupakan daerah yang strategis karena merupakan jalur
lalu-lintas pelayaran dan perdagangan khususnya setelah Malaka jatuh tahun
1511, menjadikan Banten sebagai pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para
pedagang dari berbagai bangsa. Pelabuhan Banten juga cukup aman, sebab terletak
di sebuah teluk yang terlindungi oleh Pulau Panjang, dan di samping itu Banten
juga merupakan daerah penghasil bahan ekspor seperti lada.
Selain perdagangan kerajaan Banten juga meningkatkan
kegiatan pertanian, dengan memperluas areal sawah dan ladang serta membangun
bendungan dan irigasi. Kemudian membangun terusan untuk memperlancar arus
pengiriman barang dari pedalaman ke pelabuhan. Dengan demikian kehidupan
ekonomi kerajaan Banten terus berkembang baik yang berada di pesisir maupun di
pedalaman.
3.
Kehidupan
Sosial
Kehidupan masyarakat Banten yang berkecimpung dalam dunia
pelayaran, perdagangan dan pertanian mengakibatkan masyarakat Banten berjiwa
bebas, bersifat terbuka karena bergaul dengan pedagang-pedagang lain dari
berbagai bangsa.Para pedagang lain tersebut banyak yang menetap dan mendirikan
perkampungan di Banten, seperti perkampungan Keling, perkampungan Pekoyan
(Arab), perkampungan Pecinan (Cina) dan sebagainya. Di samping perkampungan
seperti tersebut di atas, ada perkampungan yang dibentuk berdasarkan pekerjaan
seperti Kampung Pande (para pandai besi), Kampung Panjunan (pembuat pecah
belah) dan kampung Kauman (para ulama). Dalam bidang kebudayaan : kerajaan
Banten pernah tinggal seorang Syeikh yang bernama Syeikh Yusuf Makassar
(1627-1699), ia sahabat dari Sultan Agung Tirtayasa, juga Kadhi di Kerajaan
Banten yang menulis 23 buku. Selain itu pada akhir masa kesultanan, lahir
seorang ulama besar yaitu Muhammad Nawawi Al-Bantani yang pernah menjadi Imam besar
di Masjidil Haram. Ia wafat dan dimakamkan di Makkah, sedikitnya ia telah
menulis 99 kitab dalam bidang Tafsir, Hadits, Sejarah, Hukum, tauhid dan
lain-lain. Melihat kajiannya yang beragam menunjukkan ia seorang yang luas
wawasannya. Salah satu contoh wujud akulturasi tampak pada bangunan Masjid
Agung Banten, yang memperlihatkan wujud akulturasi antara kebudayaan Indonesia,
Hindu, Islam dan Eropa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar