Senin, 12 Juni 2017

Sosiologi Politik

H. DINAMIKA PERILAKU POLITIK DALAM PROSES PEMILU
            Menebak ke mana suara rakyat dalam setiap kali pemilihan, baik pemilu legislatif, pemilihan presiden dan pemilukada adalah sulit. Artinya, ada distabilisasi sikap dan perilaku politik rakyat antara hari ini dan hari esok. Pada suatu hari ini mereka mengaku berada di pihak partai/kandidat tertentu, di pihak lain, mereka berpihak pada partai/kandidat lain.
            Pilihan yang berubah-ubah itu akan dengan mudah ditangkap oleh tim sukses yang mengerti dengan baik perilaku pemilih. Tim sukses yang jeli ini ibarat menunggu di tikungan. Inilah yang disebut dalam kosakata politik lokal kita adalah serangan fajar.
            Ada beberapa faktor yang memengaruhi berubah-ubahnya perilaku memilih, adalah pertama, perilaku elite politik lokal. Hampir menjadi praktik umum, setelah pemilihan selesai tim sukses baik dari sektor bisnis maupun sektor birokrasi pemerintahan memperhitungkan semua jasa mereka selama proses pemilihan berlangsung. Akibatnya, di sektor birokrasi pemerintahan, pembagian jabatan dan posisi menjadi arena baru di dalam pembagian kekuasaan tersebut.
            Di sektor bisnis, satu-satunya faktor yang diperebutkan adalah pembagian proyek di pemerintahan. Oleh karena itu, untuk memahami perilaku kekuasaan baik di tingkat  nasional maupun lokal pembagian proyek-proyek pemerintah dapat menjadi salah satu faktor penting. Ada banyak isu berseliweran di sekitar tender-tender proyek pemerintah.
            Sektor bisnis dan faktor jabatan birokrasi pemerintahan telah menjadi titik api di dalam kerja sama seorang bupati dan wakil bupatinya. Tidak adanya pembagian yang adil dalam dua sektor penting ini akan memicu keretakan hubungan bupati dan wakil bupati. Karena dua hal ini merupakan resources di dalam pemerintahan.
            Di sinilah keuntungan dari calon yang lagi incumbent, karena pundi-pundi politik mereka cukup terisi untuk melobi partai-partai politik dari tingkat lokal hingga pusat. Rakyat tahu dengan praktik-praktik kekuasaan seperti ini. Di kampung-kampung tahu bahwa mereka diperlukan pada saat pemilu dan mungkin kecewa karena terlalu berharap pada janji-janji politik pada saat pemilihan.
            Kedua, politik primordial kesukuan. Misalnya di Flores, agama tidak menjadi faktor determinan dalam pemilihan bupati dan wakil bupati. Dengan Katolik sebagai mayoritas, maka hampir tidak kelihatan isu agama menjadi faktor yang memengaruhi persaingan antara calon.
            Ketiga, konsep rakyat. Politik massa mengambang selama pemerintahan Orde Baru Soeharto mengakibatkan lemahnya masyarakat sipil di hadapan negara. Sepanjang Orde Baru politik dijauhkan dari rakyat melalui politik massa mengambang.
            Dukungan ini bukan tanpa harga yang harus dibayar. Berapa banyak rakyat harus kehilangan lahan untuk proyek pembangunan. Rakyat dimobilisasi untuk menyerahkan tanah pertanian mereka demi pembangunan dan kepentingan umum.
            Ide-ide semacam ini telah mengakar di dalam struktur politik Orde Baru. Pola-pola ini ikut memperkuat konteks politik lokal maupun nasional. Masyarakat tidak mengenal konsep rakyat dalam pengertian politik modern.
            Konsep kultural-politik kuasi kelas semacam ini memengaruhi bangunan politik lokal. Ada hubungan simbiosis mutualisme antara elite lokal tradisional dengan elite politik lokal. Bangunan politik yang diciptakan akhirnya kembali pada hubungan patron klien sebagaimana umumnyaberlaku di dalam praktik politik Orde Baru.
           
I. POLITIK MASSA MENGAMBANG PADA MASA ORDE BARU
            Salah satu capaian terpenting rezim Orde Baru adalah mentransformasi massa rakyat dari yang semula merupakan kekuatan politik aktif yang terorganisasi diarahkan dan diposisikan dalam keadaan massa mengambang. Jika salah satu ciri utama Orde Lama adalah partisipasi rakyat secara masif dan terlembaga, maka Orde Baru justru didirikan dengan pasivisme yang akut. Transformasi ini diawali dengan pembantaian massal secara militeristik, dilanjutkan dengan korporatisasi institusi-institusi politik dan setelah itu diformalkan melalui sebuah kebijakan politik yang diberi nama depolitisasi.
            Dalam pandangan Orde Baru, politik massa yang melibatkan kelompok miskin dan kurang terdidik dipandang akan membawa instabilitas/kekacauan. Persepsi tentang massa rakyat sebagai gerombolan yang tidak dapat dikontrol dibangun oleh Orde Baru guna menjustifikasi tindakan-tindakan represif terhadap mereka. Motif di balik pencitraan ini adalah untuk membuat massa rakyat secara politik acuh sehingga memungkinkan kelompok-kelompok bisnis besar, termasuk militer, mengontrol mereka dengan mudah.
            Sesungguhnya sejak akhir dasawarsa 80-an diskursus antipolitik massa ini mulai mengalami tantangan serius. Kelompok-kelompok marginal khususnya buruh industri dan petani di desa-desa mulai melancarkan perlawanan dalam bentuk aksi-aksi protes sporadis terhadap kebijakan pemerintah maupun praktik-praktik bisnis pengusaha yang merugikan mereka. Aksi mogok buruh-buruh Gajah Tunggal dan aksi-aksi proses warga Kedungpring (kasus Kedung Ombo) pada paruh kedua dasawarsa 80-an seperti mengawali babak baru dalam gerak perlawanan terhadap kekuasaan Orde Baru.
            Yang tidak kalah penting dalam konteks perlawanan terhadap diskursus tersebut adalah munculnya kelompok-kelompok studi mahasiswa pasca pemberlakuan NKK/BKK yang mengambil posisi membela kelompok-kelompok marginal tersebut. Kelompok-kelompok studi ini secara aktif membela buruh, petani, dan kelompok miskin kota dalam kasus-kasus yang mereka hadapi (advokasi), dan bahkan tidak sedikit kelompok studi yang secara terang-terangan memang ingin membangun kekuatan politik rakyat. Terlepas dari kritik ideologis terhadap format baru gerakan mahasiswa tersebut yang dianggap masih terjebak dalam panggung-panggung mitologi, namun aktivitas mereka ketika itu sangat berkontribusi pada dekonstruksi diskursus antipolitik massa Orde Baru.
            Ironisnya, perjalanan lebih lanjut justru memberikan efek yang entah disadari dan disengaja/tidak menguatkan kembali diskursus antipolitik massa. Euforia reformasi yang berperan besar dalam melengserkan Soeharto dan membuka ruang politik yang lebih luas dan bebas seolah memutus watak populis dalam gerakan perlawanan terhadap kekuasaan Orde Baru, yang mulai terbangun seiring dengan praktik perlawanan oleh “massa mengambang” di tingkat grassroots. Kelompok-kelompok marginal seperti buruh, petani, kelompok miskin kota, dan sebagainya dijauhkan kembali dari gelanggang politik, termasuk dari gerakan reformasi.
            Proses tersebut berlangsung seiring dengan penguatan kembali mitos gerakan moral mahasiswa/i. Yang menarik adalah karena penguatan itu dilakukan oleh kelompok-kelompok studi dan organisasi mahasiswa/i yang sebelumnya telah mengkritik mitos gerakan moral tersebut, sebagai cara mereka untuk memobilisasi massa mahasiswa/i. Aksi-aksi protes mahasiswa dipandang akan menjadi katalisator untuk menyeret elemen-elemen masyarakat lain dalam sebuah mobilisasi massa.

            Lebih jauh lagi, mitos gerakan moral tersebut kemudian berkait dengan pandangan-pandangan politik yang cenderung elite-sentris. Sejak awal 1998 gerakan mahasiswa/I dan gerakan reformasi secara umum lebih suka mendekati tokoh-tokoh seperti Amin Rais, Megawati dan Abdurrahman Wahid untuk meminta arahan, inspirasi, dan kepemimpinan, sambil menyerukan kepada mereka untuk memobilisasi people power guna menjatuhkan Soeharto. Orientasi pada elite politik ini semakin menjauhkan gerakan reformasi dari kekuatan-kekuatan massa rakyat bahkan mengukuhkan diskursus antipolitik massa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar