H. DINAMIKA PERILAKU POLITIK
DALAM PROSES PEMILU
Menebak ke mana suara rakyat dalam
setiap kali pemilihan, baik pemilu legislatif, pemilihan presiden dan pemilukada
adalah sulit. Artinya, ada distabilisasi sikap dan perilaku politik rakyat
antara hari ini dan hari esok. Pada suatu hari ini mereka mengaku berada di
pihak partai/kandidat tertentu, di pihak lain, mereka berpihak pada
partai/kandidat lain.
Pilihan yang berubah-ubah itu akan
dengan mudah ditangkap oleh tim sukses yang mengerti dengan baik perilaku
pemilih. Tim sukses yang jeli ini ibarat menunggu di tikungan. Inilah yang
disebut dalam kosakata politik lokal kita adalah serangan fajar.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi
berubah-ubahnya perilaku memilih, adalah pertama,
perilaku elite politik lokal. Hampir menjadi praktik umum, setelah pemilihan
selesai tim sukses baik dari sektor bisnis maupun sektor birokrasi pemerintahan
memperhitungkan semua jasa mereka selama proses pemilihan berlangsung.
Akibatnya, di sektor birokrasi pemerintahan, pembagian jabatan dan posisi
menjadi arena baru di dalam pembagian kekuasaan tersebut.
Di sektor bisnis, satu-satunya
faktor yang diperebutkan adalah pembagian proyek di pemerintahan. Oleh karena
itu, untuk memahami perilaku kekuasaan baik di tingkat nasional maupun lokal pembagian proyek-proyek
pemerintah dapat menjadi salah satu faktor penting. Ada banyak isu berseliweran
di sekitar tender-tender proyek pemerintah.
Sektor bisnis dan faktor jabatan
birokrasi pemerintahan telah menjadi titik api di dalam kerja sama seorang
bupati dan wakil bupatinya. Tidak adanya pembagian yang adil dalam dua sektor
penting ini akan memicu keretakan hubungan bupati dan wakil bupati. Karena dua
hal ini merupakan resources di dalam
pemerintahan.
Di sinilah keuntungan dari calon
yang lagi incumbent, karena
pundi-pundi politik mereka cukup terisi untuk melobi partai-partai politik dari
tingkat lokal hingga pusat. Rakyat tahu dengan praktik-praktik kekuasaan
seperti ini. Di kampung-kampung tahu bahwa mereka diperlukan pada saat pemilu
dan mungkin kecewa karena terlalu berharap pada janji-janji politik pada saat
pemilihan.
Kedua,
politik primordial kesukuan. Misalnya di Flores, agama tidak menjadi faktor
determinan dalam pemilihan bupati dan wakil bupati. Dengan Katolik sebagai mayoritas,
maka hampir tidak kelihatan isu agama menjadi faktor yang memengaruhi
persaingan antara calon.
Ketiga,
konsep rakyat. Politik massa mengambang selama pemerintahan Orde Baru Soeharto
mengakibatkan lemahnya masyarakat sipil di hadapan negara. Sepanjang Orde Baru
politik dijauhkan dari rakyat melalui politik massa mengambang.
Dukungan ini bukan tanpa harga yang
harus dibayar. Berapa banyak rakyat harus kehilangan lahan untuk proyek
pembangunan. Rakyat dimobilisasi untuk menyerahkan tanah pertanian mereka demi
pembangunan dan kepentingan umum.
Ide-ide semacam ini telah mengakar
di dalam struktur politik Orde Baru. Pola-pola ini ikut memperkuat konteks
politik lokal maupun nasional. Masyarakat tidak mengenal konsep rakyat dalam
pengertian politik modern.
Konsep kultural-politik kuasi kelas
semacam ini memengaruhi bangunan politik lokal. Ada hubungan simbiosis
mutualisme antara elite lokal tradisional dengan elite politik lokal. Bangunan
politik yang diciptakan akhirnya kembali pada hubungan patron klien sebagaimana
umumnyaberlaku di dalam praktik politik Orde Baru.
I. POLITIK MASSA MENGAMBANG
PADA MASA ORDE BARU
Salah satu capaian terpenting
rezim Orde Baru adalah mentransformasi massa rakyat dari yang semula merupakan
kekuatan politik aktif yang terorganisasi diarahkan dan diposisikan dalam
keadaan massa mengambang. Jika salah satu ciri utama Orde Lama adalah
partisipasi rakyat secara masif dan terlembaga, maka Orde Baru justru didirikan
dengan pasivisme yang akut. Transformasi ini diawali dengan pembantaian massal
secara militeristik, dilanjutkan dengan korporatisasi institusi-institusi
politik dan setelah itu diformalkan melalui sebuah kebijakan politik yang
diberi nama depolitisasi.
Dalam pandangan Orde Baru, politik
massa yang melibatkan kelompok miskin dan kurang terdidik dipandang akan
membawa instabilitas/kekacauan. Persepsi tentang massa rakyat sebagai
gerombolan yang tidak dapat dikontrol dibangun oleh Orde Baru guna
menjustifikasi tindakan-tindakan represif terhadap mereka. Motif di balik
pencitraan ini adalah untuk membuat massa rakyat secara politik acuh sehingga
memungkinkan kelompok-kelompok bisnis besar, termasuk militer, mengontrol
mereka dengan mudah.
Sesungguhnya sejak akhir dasawarsa
80-an diskursus antipolitik massa ini mulai mengalami tantangan serius.
Kelompok-kelompok marginal khususnya buruh industri dan petani di desa-desa
mulai melancarkan perlawanan dalam bentuk aksi-aksi protes sporadis terhadap
kebijakan pemerintah maupun praktik-praktik bisnis pengusaha yang merugikan
mereka. Aksi mogok buruh-buruh Gajah Tunggal dan aksi-aksi proses warga
Kedungpring (kasus Kedung Ombo) pada paruh kedua dasawarsa 80-an seperti
mengawali babak baru dalam gerak perlawanan terhadap kekuasaan Orde Baru.
Yang tidak kalah penting dalam konteks
perlawanan terhadap diskursus tersebut adalah munculnya kelompok-kelompok studi
mahasiswa pasca pemberlakuan NKK/BKK yang mengambil posisi membela
kelompok-kelompok marginal tersebut. Kelompok-kelompok studi ini secara aktif
membela buruh, petani, dan kelompok miskin kota dalam kasus-kasus yang mereka
hadapi (advokasi), dan bahkan tidak sedikit kelompok studi yang secara
terang-terangan memang ingin membangun kekuatan politik rakyat. Terlepas dari
kritik ideologis terhadap format baru gerakan mahasiswa tersebut yang dianggap
masih terjebak dalam panggung-panggung mitologi, namun aktivitas mereka ketika
itu sangat berkontribusi pada dekonstruksi diskursus antipolitik massa Orde
Baru.
Ironisnya, perjalanan lebih lanjut
justru memberikan efek yang entah disadari dan disengaja/tidak menguatkan
kembali diskursus antipolitik massa. Euforia reformasi yang berperan besar
dalam melengserkan Soeharto dan membuka ruang politik yang lebih luas dan bebas
seolah memutus watak populis dalam gerakan perlawanan terhadap kekuasaan Orde
Baru, yang mulai terbangun seiring dengan praktik perlawanan oleh “massa
mengambang” di tingkat grassroots.
Kelompok-kelompok marginal seperti buruh, petani, kelompok miskin kota, dan
sebagainya dijauhkan kembali dari gelanggang politik, termasuk dari gerakan
reformasi.
Proses tersebut berlangsung seiring
dengan penguatan kembali mitos gerakan moral mahasiswa/i. Yang menarik adalah
karena penguatan itu dilakukan oleh kelompok-kelompok studi dan organisasi
mahasiswa/i yang sebelumnya telah mengkritik mitos gerakan moral tersebut,
sebagai cara mereka untuk memobilisasi massa mahasiswa/i. Aksi-aksi protes
mahasiswa dipandang akan menjadi katalisator untuk menyeret elemen-elemen
masyarakat lain dalam sebuah mobilisasi massa.
Lebih jauh lagi, mitos gerakan moral
tersebut kemudian berkait dengan pandangan-pandangan politik yang cenderung
elite-sentris. Sejak awal 1998 gerakan mahasiswa/I dan gerakan reformasi secara
umum lebih suka mendekati tokoh-tokoh seperti Amin Rais, Megawati dan
Abdurrahman Wahid untuk meminta arahan, inspirasi, dan kepemimpinan, sambil
menyerukan kepada mereka untuk memobilisasi people
power guna menjatuhkan Soeharto. Orientasi pada elite politik ini semakin
menjauhkan gerakan reformasi dari kekuatan-kekuatan massa rakyat bahkan
mengukuhkan diskursus antipolitik massa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar