Dinamika Perubahan UU
Pemerintahan Daerah
Pendahuluan
Sejak
reformasi sampai saat ini, sudah beberapa kali terjadi perubahan UU Pemerintah
Daerah. UU Pemerintahan Daerah yang pertama kali pasca reformasi adalah UU 22
Tahun 1999 sebagai pengganti UU nomor 5 Tahun 1974, kemudian diganti menjadi UU
Nomor 32 tahun 2004, UU ini dilakukan perubahan menyangkut pelaksanaan
pemilihan kepala daerah tetapi substansi kebijakan pengelolaan pemerintah
daerah tidak mengalami perubahan. Terakhir adalah UU 23 tahun 2014 yang
kemudian dilakukan perubahan dalam perpu No 2 Tahun 2014. Perpu tersebut hanya
membatalkan 2 pasal yakni pasal yang mengatur pemilihan kepala daerah oleh
DPRD.
Berbagai
dinamika dalam perubahan kebijakan pemerintahan daerah tersebut mulai
dari arah sentralisitik sampai desentralistik. Sebagai negara kesatuan
Indonesia tentu menerapkan pembagian urusan pusat dan daerah dengan tetap
mengacu pada pola desentralisasi, dekonsentrasi dan medebewind.
Perubahan
kebijakan hubungan pusat dan daerah di Indonesia pada dasarnya mengacu padaultra
vires doctrine (merinci satu persatu urusan pemerintahan yang
diberikan kepada daerah) dan risidual power atau open
end arrengement (konsep kekuasaan asli atau kekuasaan sisa)[1]. Ultra
vires doctrine lebih terasa pada pola sentralisitik sementararesidual
power lebih mengarah ke desentralistik. Bahkan ada menganggap bahwa
residual power sebenarnya merupakan pola hubungan pemerinta pusat dan daerah
yang biasa diterapkan dalam konsep negara federal. Sementara dalam negara
kesatuan kekuasaan sisa idealnya berada ditangan pusat.
Pola
hubugan pusat dan daerah sejak pemberlakuan UU Nomor 5 tahun 1974 sampai
UU Nomor 23 Tahun 2014 mengalami dinamika perubahan. UU Nomor 5 tahun 1974
lebih tepat dikatakan sebagai pola ultra vires doctrine karena
kewenangan yang diberikan kepada daerah dirinci satu persatu. Sementara UU
Nomor 22 Tahun 1999, UU 32 tahun 2004 dan UU 23 tahun 2014 kewenangan yang
diberikan bersifat residual power atau open and arrengmet atau general
competence[2] karena
semua kewenangan diberikan kepada daerah kecuali urusan yang ditangani
oleh pemerintah pusat, yakni moneter dan fiskal nasional, pertahanam dan
keamanan, urusan luar negeri, peradilan, dan agama
Selain
itu sistem pembagian kekuasaan yang didesentralisasikan ke daerah di Indonesia
juga menerapkan desentralisasi a simteris dan desentraisasi simetris[3].
Desentralisasi a simetris terasa dalam UU No 22 Tahun 1999, dimana ada
pemberian otonomi khusus bagi beberapa daerah (Aceh, Jogya dan Papua).
Sementara dalam UU No 5 tahun 1974 hanya desentralisasi simetris (biasa)
Perubahan
Kebijakan dalam berbagai Perspektif
Perubahan
kebijakan dalam hubungan pusat dan daerah tidak bisa dilepaskan dari
konteks, format dan ideologi politik penguasa. Ketika penguasa baru saja tampil
dan menyusun kekuatan, maka dikembangkan kebijakan yang agak terbuka. Namun
ketika kekuasaan sudah berhasil mengkonsolidasi diri, maka kebijakan bisa
dirubah dengan tertutup, otoritarisme atau malah totaliterisme[4].
Hal
ini sejalan yang dikemukakan Stefaan Walgrave bawha perubahan kebijakan
menjadi masalah agenda-setting, kondisi penting bagi perubahan kebijakan
adalah masalah perhatian politik[5]. Perubahan UU
pemerintahan daerah tidak bisa dilepaskan agenda reformasi pasca pemerintahan
Soeharto. Demi tuntutan masyarakat serta kondisi masing-masing`daerah, maka
kemudian pemerintah melakukan perubahan kebijakan pengelolaan hubungan pusat
dan daerah yang melahirkan UU nomor 22 tahun 1999 yang berlaku efektif di tahun
2001. Semangat perubahan tersebut lebih kepada keinginan memberi kewenangan
yang lebih luas kepada daerah karena kebijakan UU sebelumnya yang sangat
sentralisitik dianggap gagal dan cenderung melahirkan “riak-riak” di
daerah untuk melepaskan diri dari negara kesatuan Republik Indonesi (NKRI).
Selain
persoalan agenda setting seperti dikemukan diatas, Geoffry Duedly
dan Jeremy Ricadson dalam melihat perubahan kebijakan di Inggris antara tahun
1945-1999 melihat lebih lengkap menguraikan variabel perubahan kebijakan
dalam sebuah negara. Bahwa ada empat variabel utama dalam perubahan
kebijakan yang dikenal dengan konsep 4 I, yakni: ide-ide, interests
(kepentingan-kepentingan), institutions (lembaga-lembaga) dan individu-individu
(individu-individu)[6]
Empat
variabel ini dapat membantu melihat perubahan kebijakan pengaturan pemerintah
daerah yang terjadi di Indonesia. Ide-ide untuk lebih memberikan kewenangan
lebih luas muncul pasca tumbangnya rezim Soeharto yangg dianggap gagal membawa
Indonesia lebih demokratis. Bahkan munculnya gerakan separatis seperti Papua
Merdeka, Aceh Merdeka, Republik Maluku Serikat, akibat kekecewaan daerah
terhadap pusat. Varibel interest (kepentinga-kepentinga) juga terasa
dalam perubahan kebijakan pengaturan pemerintah daerah. Adanya interest
masing-masing daerah serta problem-problem kedaerahan yang dialami
masing-masing provinsi membawa pola hubungan pusat dan daerah hampir terjadi ‘lost
control’ dengan meneriakkan federalisme. Sementara institusions
(lembaga-lembaga) khususnya pemerintahan dilakukan restrukturisasi agar bisa
bekerja maksimal. khususindividu-individu khususnya elit mulai lebih banyak
bersuara untuk mendesak agar pengelolaan pemerintahan daerah untuk ditinjau
sebelum isu-isu federalisme tidak semakin luas diteriakkan di daerah.
Pokok
Perubahan UU Pemerintahan Daerah
UU
No 5 Tahun 1974
Perubahan
kebijakan hubungan pusat dan daerah dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 lebih condong
kearah sentralistik. Beberapa karateristik yang menonjol dari prinsip
penyelenggaraan pemerintahan UU Nomor 5 Tahun 1974, yaitu:Pertama, Wilayah
negara dibagi ke dalam Daerah besar dan kecil yang bersifat otonom atau
administratif saja. Kedua, pemerintahan daerah diselenggarakan secara
bertingkat, yaitu Daerah Tingkat I, Daerah tingkat II sebagai Daerah Otonom,
dan kemudian wilayah administrative berupa provinsi, kabupaten/kotamadya, dan
kecamatan. Ketiga, DPRD Tingkat I maupun Tingkat II dan kotamadya merupakan
bagian dari Pemerintahan Daerah. Keempat, peranan Menteri Dalam Negeri dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dikatakan bersifat sangat eksesif
atau berlebih-lebihan yang diwujudkan dengan melakukan pembinaan langsung
terhadap daerah. Kelima, UU ini memberikan tempat yang sangat terhormat dan
sangat kuat kepada Kepala Wilayah ketimbang kepada Kepala Daerah. Keenam,
Keuangan Daerah sebagaimana umumnya dengan undangundang terdahulu, diatur
secara umum saja. Daerah juga mendapat bantuan dari Pemerintahan Pusat berupa
“Pemberian Pemerintah”, sebuah istilah yang menandakan kemurahan hati
Pemerintahan di Jakarta. [9]
Meskipun
harus diakui bahwa UU No.5/1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam
praktek yang terjadi adalah sentralisasi yang dominan dalam perencanaan maupun
implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena yang paling menonjol
dari hubungan antara sistem Pemda dengan pembangunan adalah ketergantungan Pemda
yang tinggi terhadap pemerintah pusat.
UU
No 22 Tahun 1999
Menurut
UU Nomor 22 Tahun 1999, daerah otonomi tidak menganut sistem bertingkat dan
hanya mengenal 2 (dua) daerah otonomi, yaitu Provinsi dan Kabupaten/ kota yang
dapat dirumuskan sebagai berikut (Marbun, 2010:102-103): Pertama, Wilayah
Negara Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Provinsi, kabupaten, dan kota
yang bersifat otonomi. Kedua, Daerah-daerah ini masing-masing berdiri sendiri
dan tidak mempunyai hubungan hierarki (pasal 4 UU Nomor 22 Tahun 1999). Ketiga,
Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai Daerah Administratif. Ada beberapa
ciri khas yang menonjol dalam Undang-Undang ini (Syaukani, 2009:185-190), yaitu
Pertama, Demokrasi dan Demokratisasi. Kedua, Mendekatkan Pemerintah Dengan Rakyat.
Titik berat otonomi daerah difokuskan kepada Daerah Kabupatendan Kota, bukan
kepada Daerah Propinsi. Ketiga, Sistem Otonomi Luas dan Nyata. Keempat, Tidak
Menggunakan Sistem Otonomi Bertingkat. Dalam sistem ini, Pejabat Pemerintahan
daerah yang lebih tinggi juga sekaligus merupakan atasan dari pejabat yang ada
di daerah otonom yang lebih rendah. Kelima, No Mandate Without Funding.
Penyelenggaraan tugas pemerintah di daerah harus dibiayai dari dana Anggaran
Belanja dan Pendapatan Negara (Pasal 78 ayat 2), dan “Penyerahan atau
pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur atau penyerahan
kewenangan atau penugasan Pemerintahan Pusat kepada Bupati/Walikota diikuti
dengan pembiayaannya” (Pasal 2 ayat {4} UU PK no. 25 tahunn 1999). UU Nomor 22
tahun 1999 mengandung prinsip yang sebaliknya, yaitu money follows
funftion. Artinya Daerah diberi kewenangan yang seluas-luasnya dan dengan
kewenangan itu maka Daerah akan menggunakannya untuk menggali sumber dana
keuangan yang sebesar-besarnya sepanjang bersifat legal dan diterima oleh
lapisan masyarakat. Keenam, Penguatan Rakyat Melalui DPRD.
Dari UU No 22 tahun 1999 terdapat kesan kuat bahwa pusat memberikan kewenangan pada daerah. Pada kondisi tersbut mungkin terbaca bahwa pusat mulai mengakomodasi tuntutan daerah. Pemberian kewenangan daerah dalam skema otonomi daerah, bisa dibaca sebagai konsekuensi dari menurun daya kemampuan pusat untuk mengendalikan daerah, sehingga tidak ada pilihan lain kecuali memberikan kewenangan bagi daerah untuk mengatur diri sendiri. Pada kontek lain munculnya berbagai konflik di daerah terdapat kesan bahwa pusat seakan-akan hendak memindahkan pesoalan dalam ke masing-masing wilayah
Perubahan
pengelolaan pemerinah daerah juga dilihat dalam era
pasca-desentralisasi.Perubahan tersebut terlihat secara signifikan
dalam keberadaan DPRD. Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999, DPRD diberi peran
dominan vis-à-vis kepala daerah dipemerintahan
daerah. Tujuan utamanya adalah untuk membawa pemerintahan
lokal yang demokratis di berbagai daerah melalui, antara
lain, pemberdayaan DPRD sebagai wakilmasyarakat
lokal dan sebagai lembaga yang memiliki wewenang untuk
menahan kepaladaerah bertanggung jawab atas kinerja mereka[10].
Di
deberapa daerah, terjadi penguatan terhadap fungsi DPRD bahkan terlihat terjadi
legislatif heavey dimana kepala daerah “kewalahan” menghadapi DPRD, apalgi
kalau kepala daerah berasal dari partai berbeda dengan partai mayoritas di
DPRD. Bahkan seolah-olah terjadi devided government (pemerintahan
terbelah) akibat kepala daerah tersandra dengan DPRD.
UU 32 tahun 2004
Antara
UU 32 tahun 2004 dengan UU No 22 tahunn 1999 sebenarnya tidak ada
perbedaan prinsipal dalam kebijakan pengelolaan pemerintahann daerah. Dalam
perspektif desentralisasi masih menerapkan prinsip residual power atau open
arrangement karena pusat masih mengurus 6 urusan yang bersifat
konkruent. Pemerintah Daerah berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi yang
luas, nyata, dan bertanggung jawab.
UU
No.32 tahun 2004 mengatur hal-hal tentang; pembentukan daerah dan kawasan
khusus, pembagian urusan pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan,
kepegawaian daerah, perda dan peraturan kepala daerah, perencanaan pembangunan
daerah, keuangan daerah, kerja sama dan penyelesaian perselisihan, kawasan
perkotaan, desa, pembinaan dan pengawasan, pertimbangan dalamkebijakan otonomi
daerah.
Menurut
UU No.32 tahun 2004 ini, negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Sehubungan dengan daerah
yang bersifat khusus dan istimewa ini, kita mengenal adanya beberapa bentuk
pemerintahan yang lain, seperti DKI Jakarta, DI Aceh, DI Yogyakarta, dan
provinsi-provinsi di Papua.
Bagi
daerah-daerah ini secara prinsip tetap diberlakukan sama dengan
daerah-daerah lain. Hanya saja dengan pertimbangan tertentu, kepada
daerah-daerah tersebut, dapat diberikan wewenang khusus yang diatur dengan
undang-undang. Jadi, bagi daerah yang bersifat khusus dan istimewa,
secara umum berlaku UU No.32 tahun 2004 dan dapat juga diatur dengan UU
tersendiri.
Ada
perubahan yang cukup signifikan untuk mewujudkan kedudukan sebagai mitra
sejajar antara kepala derah dan DPRD yaitu kepala daerah dan wakil kepala
daerah dipilih langsung oleh rakyat dan DPRD hanya berwenang meminta laporan
keterangan pertanggung jawaban dari kepala daerah.
Di
daerah perkotaan, bentuk pemerintahan terendah disebut “kelurahan”. Desa yang
ada di Kabupaten/Kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya
menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa, bersama Badan
Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengan perda. Desa menjadi kelurahan tidak
seketika berubah dengan adanya pembentukan kota, begitu pula desa yang berada
di perkotaan dalam pemerintahan kabupaten.
UU
No 23 Tahun 2014
Pada
UU 23 tahun 2014, masih menerapakan pola residual power atau open
arrangement, bahkan urusan pemerintah dibagi menjadi urusan pemerintah
absolut, urusan pemerintah konkruen dan urusan pemerintahan umum (pasal 9)
urusan pemerintah absolut adalah urusan pemerintah yang sepenuhnya menjadi
kewenangan pemerintah pusat (politik luar negeri, pertahanan, keamanan,
yustisi, moneter dan fiskal, dan agama) urusan pemerintah konkruen adalah
Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan
Daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan umum adalah Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Selain itu dalam UU 23 Tahun 2014 DPRD masih sama kedudukannya dengan UU No 23
Tahun 2004 yakni sebagai bagian dari penyelenggara pemerintahan daerah
Selain
persoalan filosofis dalam urusan pemerintah pusat dan daerah seperti diatas
diatur dalam UU 23 Tahun 2014 juga ada perbedaan yuridis. Perbedaan
yuridis tertuang dalam bentuk pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang tidak
diatur dalam UU sebelumnya. Perbedaan secara yuridis, sangat terlihat dengan
tidak adanya pasal-pasal yang mengatur tentang penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah. Perihal pemilihan daerah telah diatur dalam UU no 22 tahun 2014 yang
sudah dibatalkan dengan Perpu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Dipisahkannya UU Pemda dengan UU Pilkada dimaksudkan agar kedua UU tersebut
dapat berjalan secara maksimal sesuai dengan isu sentralnya masing-masing.
Selain itu, dalam pemisahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pilkada
dimaksudkan untuk mempertegas posisi dan perbedaan Gubernur dan
Walikota/Bupati.
Hal
ini dikarenakan Gubernur yang dipilih melalui mekanisme pemilihan langsung.
Namun, secara sepihak dikooptasi dengan menempatkan Gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat. Dalam perspektif akademis posisi Gubernur dapat dikategorikan
sebagai “unit antara”. Ciri khas dari “unit antara” dalam penyelenggaraan
pemerintahannya bersinggungan dengan kegiatan dekonsentrasi daripada
desentralisasi. Dengan demikian, Gubernur yang dipilih langsung oleh rakyat,
kewewenangannya “terkebiri” karena status gandanya yang juga sebagai wakil
pemerintah pusat. Berbeda dengan Walikota dan Bupati yang sama-sama dipilih
oleh rakyat tapi statusnya sebagai daerah otonom yang mengedepankan prinsip
atau azas desentralisasi. Disinilah urgensi pemisahan penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan pemilihan pilkada mejadi dua UU yang berbeda.
Mengapa
Berubah
Setiap
negara mengalami dinamika dalam perubahan kebijakan, dan tentunya faktor
perubahan berbeda antara satu negara dengan negara lain. Namun tidak ada salahnya
dalam melihat dinamika perubahan pemerintaha daerah kita mengacu pada dinamika
perubahan kebijakan pada beberapa pendapat yang telah melakukan kajian dan
analisis terhadap suatu negara dalam melihat dinamika perubahan kebijakannya.
Olehnya
untuk melihat dinamika perubahan pengelolaan pemerintah daerah di Indonesia,
seperti pendapat Hall sebagaimana di kutif oleh Geoffry Duedly dan Jeremy
Ricadson bahwa perubahan orde ketiga mungkin unsur-unsur mencerminkan suatu
proses yang berbeda, yang ditandai oleh perubahan-perubahan radikal dalam
lingkup ketentuan-ketentuan wacana kebijakan yang berkaitan dengan pergeseran
paradigma. Jika perubahan-perubahan ode pertama dan kedua mempertahan kan
kontinuitas-kontinuitas luas yang lazimnya ditemukan dalam pola-pola kebijakan,
maka perubahan ‘orde ketiga’ seringkali merupakan suatu proses yang lebih disjunctive yang
berkaitan dengan diskontinuitas-diskontinuitas berkala dalam kebijakan. Masih
mengutip dari Hall bahwa implikasi dari analisis ini yaitu perubahan-perubahan orde
pertama dan orde kedua dalam kebijakan tidak secara otomatis mendatangkan
perubahan- perubahan orde ketiga. Degan perkataan lain, tidak boleh
terperangkap anggapan bahwa pergeseran paradigmatik melibatkan hanya suatu
versi yang lebih intens tentang pengambilan kebijakan normal yang didominasi
oleh komunitas-komunitas dan jaringan-jaringan kebijakan.
Perubahan-perubahan
kebijakan ‘orde ketiga’ mungkin akan mencakup lebih banyak dinamika
tiga-dimensi dan spatial, yang melibatkan sejangkauan variabel-variabel.
Dinamika ini bisa kompleks, namun unsur-unsur tertentu, dan antar-hubungan
antara mereka, terlihat krusial. Variabel-variabel penentu utama
dari perubahan kebijakan ‘orde ketiga’, yakni: ide-ide, interests
(kepentingan-kepentingan), institutions (lembaga-lembaga) dan individu-individu
(individu-individu)[11]
Empat
I ini kalau melihat dalam perubahan UU Pemerintahan daerah dapat kita lihat
dalam aspek Ide-ide Aspek ideologi, perubahan UU 5 tahun 1974 menjadi UU
Nomor 22 tahun 1999 disebabakan perubahan paradigma pengelolaan hubungan pusat
dan daerah. Perubahan tersebut adalah perubahan arah sentralisitik ke arah
desentralisitik. Sementara UU 32 Tahunn 2004 dan UU 22 Tahun 2014 menerapkan
pola ultra vire doctrine atauresidual power hal
ini terlihat betapa banykanya urusan yang diberikan kepada daerah.
Selain aspek ide-ide, dinamika perubahan kebijakan pemerintah daerah juga dipengaruhi aspek institusi. Institusi khususnya lembaga-lembaga negara dilakukann restrukturisasi di pemerintah daerah agar bisa melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal.
Namun
yang paling mejadi perhatian adalah soal insterest, perubahan kebijakan
pemerintah daerah adalah aspek kepentingan elit dan kepentingan daerah.
Elit khususnya intelektual kampus menganggap bahwa untuk mencapai tujuan negara
negara kesatuan Republik Indonesia harus dikelolah dengan memberikan
keleluasaan bagi daerah untuk mengurus dan mengelola daerahnya sesuai dengan
potensi dan kemampuan daerah melalui pemberian otonomi secara luas dan
bertanggung jawab.
Selain itu aspek lain dalam dinamika perubahan kebijakan adalah individu, dengan reformasi yang terjadi dan perubahan lima paket UU politik yang ada di Indonesia turut mempengaruhi perubahan prilaku (behavioralis) masyarakat Indonesia. Perubahan lima paket UU politik juga semakin meningkatkan tingkat pendidikan politik warga negara, sehingga kesadaran dan partisipasi politk warga negara terhadap pengelolaan negara juga semakin meningkat.
Akan tetapi, ada satu unsur kunci lebih lanjut dalam menentukan dinamika perubahan kebijakan ‘orde ketiga’ — yaitu tentang waktu. Meskipun ada pengaruh pervasifnya, namun waktu seringkali dilupakan sebagai variabel vital, dan namun dalam studi longitudinal hal pentingnya menjadi jelas[12]. Perubahan pemerintahan daerah di Indonesia kalau mengacu dimensi waktu, sebenarnya relatif tidak panjang, apalagi kalau melihat perubahan pemerintahan daerah pasca reformasi, hanya kurung satu dasawarsa perubahan pengelolaan pemerintahan daerah mengalami berbagai perubahan.
Sementara
Peter John melihat bahwa pengaruh institusional, pilihan
rasional, jaringan,pendekatan sosio-ekonomi dan ideasional
bahwa
teori evolusi mungkin bergunamengungkap proses mikro-tingkat di
tempat kerja, khususnya karena
beberapa tigakerangka mengacu pada model dinamis
dan metode, apa yang dikemukakan oleh Peter John juga terlihat dalam
perubahan kebijakan pemerintahan daerah di Indonesia, bahwa pilihn rasional
akan pemeberian urusan pemerintahan secara residual power atau open
arrangement merupakan pilihan rasional yang diambil oleh negara
khususnya pemerintah pusat dalam memberikan otonomi secara luas dan bertanggung
jawab kepada daerah baik UU Nomor 22 Tahun 1999 maupun UU 32 Tahun 2004 dan UU
23 Tahun 2014.
Pemikiran
Stefaan Walgrave tentang perubahan kebijakan juga dapt kita lihat dalam
perubahan pemerintahan daerah, Stefaan mengungkapkan bahwa perubahan kebijakan
menjadi masalah agenda-setting, kondisi penting bagi perubahan kebijakan
adalah masalah perhatian politik. Perubahan UU pemerintahan daerah tidak bisa
dilepaskan agenda reformasi pasca pemerintahan Soeharto. Demi tuntutan
masyarakat serta kondisi masing-masing`daerah, maka kemudian pemerintah
melakukan perubahan kebijakan pengelolaan hubungan pusat dan daerah yang
melahirkan UU nomor 22 tahun 1999 yang berlaku efektif di tahun 2001. Semangat
perubahan tersebut lebih kepada keinginan memberi kewenangan yang lebih luas
kepada daerah karena kebijakan UU sebelumnya yang sangat sentralisitik dianggap
gagal dan cenderung melahirkan “riak-riak” di daerah untuk melepaskan
diri dari negara kesatuan Republik Indonesi (NKRI).
Kesimpulan
Dinamika
perubahan kebijakan pemerintahan daerah di Indoensia pasca reforrmasi mengalami
dari UU 5 tahun 1975 menjadi UU 22 tahun 1999 dan UU 32 tahun 2004 dan UU
23 tahun 2014 dari aspek yuridis dan filosofis mengalami pergeseran dari ultra
vires doctrine (merinci satu persatu urusan yang diserahkan ke daerah)
menjadi open and arrangement atau residual power (konsep
kekuasaan asli atau kekuasaan sisa).
Faktor
perubahan UU pemerintahan daerah relevan dengan konsep yang dikemukakan oleh
Geoffry Duedly dan Jeremy Ricadson bahwa Four I (yakni ide-ide,
interests (kepentingan-kepentingan), institutions (lembaga-lembaga) dan individu-individu
(individu-individu) terjadi dalam pemerintahan daerah di Indonesia
Selain
itu Peter John juga melihat bahwa pilihan rasional juga menjadi bagian
dalam perubahan kebijakan pemerintah daerah khususnya pemerintah pusat dalam
memberikan otonomi secara luas dan bertanggung jawab kepada daerah baik UU
Nomor 22 Tahun 1999 maupun UU 32 Tahun 2004 dan UU 23 Tahun 2014.
Stefaan
Walgrave yang melihat bahwa bahwa perubahan kebijakan menjadi masalah
agenda-setting, kondisi penting bagi perubahan kebijakan adalah masalah
perhatian politik. Perubahan UU pemerintahan daerah tidak bisa dilepaskan
agenda setting reformasi pasca pemerintahan Soeharto. Demi tuntutan masyarakat
serta kondisi masing-masing`daerah, maka kemudian pemerintah melakukan
perubahan kebijakan pengelolaan hubungan pusat dan daerah yang melahirkan
berbagai perubahan UU Pemerintahan Daerah.
Hanif,
Teori dan Parktek Pemerintahan, Grafindo, Jogyakarta, 2003
DINAMIKA
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH DI ERA REFORMASI
Historia
Politik Hukum Sistem Pemerintahan Daerah
Politik
Hukum di Indonesia mengalami perubahan terus menerus dari masa ke masa sesuai
dengan kehendak pemerintahan suatu negara. Politik Hukum pada masa pemerintahan
Orde Lama tentu saja berbeda dengan Politik Hukum pada masa pemerintahan Orde
Baru.
Politik Hukum pada masa pemerintahan Orde Lama direpresentasikan oleh kehendak pemerintahan yang berkuasa saat itu, yakni untuk membawa hukum yang cenderung diarahkan pada pengawalan politik, di mana politik pada saat itu dianggap sebagai panglima. Artinya, politik dalam negara Indonesia ketika itu kedudukannya diletakkan di atas segala-galanya, melebihi ekonomi maupun hukum.
Politik Hukum pada masa pemerintahan Orde Lama direpresentasikan oleh kehendak pemerintahan yang berkuasa saat itu, yakni untuk membawa hukum yang cenderung diarahkan pada pengawalan politik, di mana politik pada saat itu dianggap sebagai panglima. Artinya, politik dalam negara Indonesia ketika itu kedudukannya diletakkan di atas segala-galanya, melebihi ekonomi maupun hukum.
Dengan
demikian hukum pada saat itu tidak ubahnya hanya sekadar sebagai alat pembenar
dari aktivitas politik negara. Pemerintahan Orde Baru memiliki kecenderungan
kuat ke arah Liberalisasi dan Kapitalisasi Sistem Ekonomi Indonesia. Titik
berat arah Politik Hukum yang diambil pemerintah saat itu adalah Pembangunan
Nasional. Pembangunan Nasional ini dimaknai sebagai pembentukan TRILOGI yakni
Stabilitas Nasional yang mantab, Pertumbuhan Ekonomi yang tinggi, dan
Pemerataan hasil-hasil Pembangunan. Oleh sebab itu maka konsekwensi logis dari
Trilogi Pembangunan ini adalah Kekuasaan Orde Baru yang dengan efisien dan efektif
digunakan mengendalikan kekuasaan politik di legislatif, kekuasaan birokrasi di
eksekutif, maupun kekuasaan hukum di yudikatif.
Politik
hukum mengenai pemerintahan daerah pun tidak terlepas dari kehendak pemerintah
yang berkuasa. Sejarah panjang politik hukum pemerintahan daerah tidak terlepas
dari konfigurasi politik yang berkembang pada pemerintahan yang berkuasa.
Sejarah penyelenggaraan pemerintah daerah dapat diklasifikasikan dalam beberapa
periode, sebagai berikut :
1. Periode
Perjuangan Kemerdekaan (1945-1949);
2. Pasca
Kemerdekaan (1950-1959);
3. Demokrasi
Terpimpin (1959-1965);
4. Orde
Baru (1965-1998);
5. Pasca
Orde Baru atau Era Reformasi (1998-sekarang).
Problematika
dan Tantangan[1]
Pada
era reformasi atau jatuhnya orde baru terjadi banyak perubahan yang fundamental
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal itu terjadi karena adanya amandemen
konstitusi Indonesia, yaitu Amandemen UUD 1945. Perubahan tersebut membawa
pengaruh yang besar pula dalam politik hukum pemerintahan daerah. Berbagai
eksperimen pun dilakukan untuk menemukan formula yang sesuai dengan Negara
kesatuan Republik Indonesia. Bahkan isu federalisme[2] pun sempat mencuat dalam perbincangan dalam taraf
nasional. Atas dasar tersebut, maka mencuat satu pertanyaan besar. Bagaimana
politik hukum pemerintahan daerah yang dicanangkan oleh pemerintah, dalam
dimensi reformasi seperti saat ini, dimana tuntutan terhadap globalisasi tidak
dapat dihindari? Oleh karena itu merumuskan dua nilai kepentingan (global –
bangsa) menjadi suatu keharusan.
Politik
Hukum dan Format Otonomi Daerah
Menurut
Mahfud M.D politik hukum diartikan sebagai “legal policy” atau arah
hukum yang akan diberlakukan oleh Negara untuk mencapai tujuan Negara yang
bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan pergantian hukum lama. Sehingga
politik hukum otonomi daerah dapat diartikan sebagai “legal policy” atau
arah hukum yang akan diberlakukan Negara untuk mencapai tujuan Negara yang
bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama tentang
otonomi daerah.
Arah
hukum dalam pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama tidak terlepas dari
konsep konstitusi, yaitu UUD 1945. Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa
Indonesia pada kurun waktu 1999-2002 mengalami perubahan/amandemen konstitusi.
Hal ini tentunya merubah beberapa konsep hukum tertentu tentang otonomi daerah.
Kebijakan
otonomi daerah muncul tidak hanya atas kehendak dari pemerintah pusat, tetapi
juga terbentuk dan terlaksana atas kehendak masyarakat daerah itu sendiri.
Dalam satu negara kesatuan, negara adalah tunggal dan tidak dibagi
kedaulatannya. Oleh karena itu, luas dan besarnya kekuasaan daerah otonom dalam
negara kesatuan yang terdesentralisasi, tidak akan pernah memiliki kekuasaan
dalam membentuk konstitusi sendiri yang akan berbeda dengan konstitusi negara
induknya. Hal inilah yang membedakan sistem Negara kesatuan dan Negara federal.
Dimana dalam sistem federalistik, kedaulatan diperoleh dari unit-unit politik
yang terpisah-pisah dan kemudian sepakat membentuk sebuah pemerintahan
bersama.
Dilihat
dari pemahaman kesejarahan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
daerah memberikan dukungan yang sukarela dan penuh pada pergerakan kemerdekaan
nasional. Oleh karena itu, pemerintah tidak dapat mengabaikan sejarah
pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam memaknai otonomi daerah.
Kebijakan otonomi daerah merupakan pengakuan pemerintah terhadap daerah berupa
hak, identitas lokal, budaya, entitas politik, dan sumber daya ekonomi.
Pengakuan ini menjadi dasar pembagian kekuasaan dan/atau kekayaan secara
seimbang dan adil antara pusat dan daerah untuk tetap terjaganya integritas
negara kesatuan dengan baik.
Argumentasi
Urgensi Otonomi Daerah
Ada
tiga argumentasi mendasar yang melandasi asumsi otonomi daerah memperkuat
dimensi kebersamaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu :
1. Otonomi
daerah merupakan kebijakan dan pilihan strategis dalam rangka memelihara
kebersamaan nasional dimana hakikat khas daerah tetap dipertahankan dengan
memberikan kewenangan yang proporsional dalam mengurus rumah tangga daerah itu
sendiri. Pemerintah pusat dalam hal ini memberikan jaminan kewenangan tersebut
dengan tetap membimbing daerah pada koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Melalui
otonomi daerah pemerintah menguatkan sentra ekonomi kepada daerah dengan
memberikan kesempatan untuk mengurus dan mengelola potensi ekonominya sendiri
secara proporsional. Apabila potensi ekonomi tersebut menyebar secara merata
dan berkelanjutan, kesatuan ekonomi nasional akan memiliki fundamental yang
sangat kuat;
3. Otonomi
daerah akan mendorong pemantapan demokrasi politik di daerah dengan landasan
desentralisasi yang dijalankan secara konsisten dan proporsional.
Politik
Hukum Otonomi Daerah di Era Reformasi (Jilid I)
Pada
masa orde baru, visi dan konsep otonomi daerah lebih terfokus pada pembangunan
ekonomi nasional yang menekankan stabilitas, integrasi dan pengendalian secara
sentralistik melalui perencanaan yang terpusat. Sehingga konsep pemerintahan
daerah menjadi sentralistik dimana daerah tidak memiliki kewenangan untuk
mengurus dan mengelola urusan rumah tangganya sendiri. Pada masa orde baru,
otonomi daerah pada hakekatnya merupakan kewajiban daerah untuk ikut
melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan
rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tangung jawab.
Ketergantungan daerah pada pemerintah pusat, yang disebabkan konsep tersebut
diatas, membuat daerah menjadi tidak kreatif dalam menghadapi permasalahan yang
timbul akibat krisis moneter tahun 1998. Untuk itu terjadi perubahan paradigma
dalam UU Pemerintahan Daerah dari paradigma pembangunan ke paradigma pelayanan
dan pemberdayaan dengan pola kemitraan yang desentralistik .
Pemerintah
yang berkuasa pasca jatuhnya orde baru membentuk UU Pemerintah Daerah dengan
visi dan konsep yang berbeda dengan pemerintah orde baru, yaitu dengan
disahkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25
Tahun 1999 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah. Menurut Ryass Rasyid,
ada 3 (tiga) hal yang menjadi visi dalam UU No 22 Tahun 1999 tersebut, yaitu:
1. Membebaskan
pemerintah pusat dari beban mengurus soal-soal domestik dan menyerahkannya
kepada pemerintah lokal agar pemerintah lokal secara bertahap mampu
memberdayakan dirinya untuk mengurus urusan domestiknya.
2. Pemerintah
pusat bisa berkonsentrasi dalam masalah makro nasional.
3. Daerah
bisa lebih berdaya dan kreatif
Visi
tersebut kemudian dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksi yang utama
sebagai berikut :
1.
Di Bidang Politik. DIkarenakan
otonomi merupakan buah dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, maka
harus dibuka kemungkinan adanya peluang untuk lahirnya kepala daerah yang
dipilih secara demokratis, penyelenggaraan pemerintahan daerah yang responsif
terhadap kepentingan masyarakat luas, terpeliharanya mekanisme pengambilan
keputusan yang bertanggung jawab, adanya transparansi kebijakan, pembangunan
struktur pemerintahan yang sesuia dengan kebutuhan daerah, pembangunan sistem
dan pola karier politik dan administrasi yang kompetitif, serta pengembangan
sistem manajemen pemerintahan yang efektif.
2.
Di Bidang Ekonomi. Untuk menjamin kelancaran pelaksanaan
kebijakan ekonomi nasional di daerah sekaligus memberi kesempatan bagi pemerintah
daerah untuk mengembangkan kebijakan regional dan local untuk mengoptimalkan
pendayagunaan potensi ekonomi di daerah.
3. Di
Bidang Sosial dan Budaya. Untuk membangun harmoni sosial sekaligus
memelihara nilai-nilai local yang dipandang bersifat kondusif terhadap
kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan di sekitarnya.
Dalam
Penjelasan UU No. 22 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan
prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah, yaitu:
1. Penyelenggaraan
Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan,
pemerataan, serta potensi dan keaneka ragaman Daerah;
2. Pelaksanaan
otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab;
3. Pelaksanaan
otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan daerah
Kota, sedang daerah Provinsi merupakan otonomi yang terbatas;
4. Pelaksanaan
otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin
hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta Antar Daerah;
5. Pelaksanaan
otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonomi, dan
karenanya dalam Daereh Kabupaten dan Daerah Kota tidak lagi ada Wilayah
Administrasi. Demikian pula dikawasan-kawasan yang khusus yang dibina oleh
Pemerintah (Pusat) atau pihak lain, seperti badan otoritas, kawasan pelabuhan,
kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan,
kawasan kehutanan, kawasan perkotaan, baru kawasan pariwisata, dan semacamnya
berlaku ketentuan Peraturan Daerah Otonomi;
6. Pelaksanaan
Otonomi daerah harus lebih meningkatkan peran dan fungsi badan legisfatif
Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawasan maupun fungsi
anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
7. Pelaksanaan
asas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Provinsi dalam kedudukannya sebagai
Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang
dilimpahkan kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah (Pusat);
8. Pelaksanaan
asas tugas pembantuan (medebewing, peny) dimungkinkan, tidak hanya dari
Pemerintah (Pusat) kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah (Pusat) kepada
Desa, yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertangungjawabkan
kepada yang menugaskannya.
Politik
Hukum Otonomi Daerah di Era Reformasi (Jilid II)
Pada
prakteknya, UU No.22 Tahun 1999 mengalami berbagai permasalahan, diantaranya
kekuasaan legislatif yang semakin kuat (legislative heavy). Hal ini
sangat bertolak belakang dengan pelaksanaan yang terjadi pada masa orde baru,
dimana pada masa itu kekuasaan eksekutif yang sangat kuat (eksekutive heavy).
Posisi DPRD dikatakan kuat karena lembaga ini memiliki kewenangan yang sangat
besar dan kuat. DPRD berwenang memilih kepala daerah, mengawasi, meminta
laporan pertanggung jawaban, bahkan dapat menjatuhkan/menurunkan jabatan kepala
daerah. Dengan posisi dan kewenangan tersebut, praktek KKN di lembaga DPRD
semakin subur melalui politik uang dalam bentuk pembelian suara anggota-anggota
DPRD, pemerasan terhadap kepala daerah dengan menjadikan laporan pertanggung
jawaban tahunan sebagai alatnya, serta adanya kolusi antara Pemda dan angota
DPRD dalam penanganan proyek-proyek.
Pada
tahun 2000, terjadi perubahan/amandemen UUD 1945 termasuk perubahan Pasal 18
yang menjadi dasar pelaksanaan pemerintahan di daerah. Perubahan tersebut
menghendaki pengaturan tentang pemerintahan daerah yang berbeda dengan
pengaturan dalam UU No 22 Tahun 1999. Sehingga perubahan yang terjadi dalam
Pasal 18 UUD 1945 tersebut mengakibatkan adanya keharusan penggantian hukum
lama dengan hukum baru, yang kemudian terbentuklah UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Adapun isi perubahan UUD 1945 yang dituangkan dalam
ketentuan-ketentuan dalam UU No. 32 tahun 2004 adalah sebagai berikut :
1. Prinsip
Otonomi, Pembagian Urusan, dan Hubungan Hierarkis
Prinsip
otonomi dalam UU No. 32 tahun 2004 tidak mengalami banyak perubahan, yaitu
prinsip otonomi seluas-luasnya dimana daerah diberikan kewenangan mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat
yang ditetapkan dalam UU. Adapun urusan yang menjadi kewenangan pemerintah
pusat adalah urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter
dan fiskal nasional, dan agama . Selain itu, dalam UU No.32 Tahun 2004 diatur
kembali hubungan hierarkis antara pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota walaupun tidak secara eksplisit disebutkan secara tegas.
2. Pemilihan
Kepala Daerah
UU
No.32 tahun 2004 menganut sistem pemilihan langsung yang memberi kesempatan
luas kepada masyarakat didaerah untuk memilih sendiri Kepala Daerah dan
Wakilnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 Amandemen yang menyatakan bahwa: “Gubernur, Bupati dan Walikota
masing-masing sebagai kepala daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih
secara demokratis”.
3. Pertanggungjawaban
Kepala Daerah
UU
No 32 Tahun 2004 menggariskan bahwa Pemerintah Daerah tidak bertanggungjawab
kepada DPRD, karena hubungan Pemerintah Daerah dan DPRD adalah hubungan
kemitraan. Berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 120/1306/SJ
tanggal 7 Juli 2005, Pemerintah Daerah hanya menyampaikan informasi yang
bersifat laporan kepada DPRD, yaitu berupa Laporan Keterangan
Pertanggungjawaban (LKPj) tentang pelaksanaan tugasnya dalam satu tahun
terakhir atau laporan tentang akhir masa jabatan. Terhadap laporan tersebut
DPRD tidak dapat menolak atau menerima LKPj tersebut, sehingga DPRD tidak dapat
menjatuhkan Kepala Daerah .
Pertanggungjawaban
Pemerintah Daerah dilakukan kepada Pemerintah Pusat. Dalam hal ini, Gubernur
menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada
Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, sedangkan Bupati/Walilkota menyampaikan
Laporan Pertanggungjawaban Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Menteri Dalam
Negeri melalui Gubernur .
4. Sistem
Pengawasan
Ketentuan
tentang pengawasan, yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004, diseimbangkan
dengan pembinaan melalui pengawasan yang berupa penilaian atas produk-produk
daerah dengan cara dan sampai waktu tertentu. Pembinaan pemerintah pusat
terhadap daerah tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau bahkan merintangi pelaksanaan
otonomi daerah. Namun pembinaan tersebut ditujukan agar tidak terjadinya
disintegrasi nasional dan disharmonisasi hukum nasional.
5. Keuangan
Daerah
Ketentuan
mengenai sumber keuangan daerah diatur dalam pasal 157 UU No.32 Tahun 2004,
yaitu terdiri atas pendapatan asli daerah (PAD) dan dana perimbangan serta
pendapatan lain yang sah. Sedangkan pendapatan asli daerah terdiri atas hasil
pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipusatkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Selain itu daerah
dapat melakukan pinjaman luar negeri melalui pemerintah pusat.
6. Kepegawaian
Daerah
Pasal
129 UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa pemerintah (pusat) melaksanakan
pembinaan manajemen pegawai negeri sipil di daerah dalam satu penyelenggaraan
manajemen pegawai sipil secara nasional. Pengangkatan, pemindahan, dan
pemberhentian pada Jabatan Eselon II pada pemerintah provinsi ditetapkan oleh
Gubernur, sedangkan Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pada jabatan
eselon II pada pemerintah kabupaten/kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota
setelah berkonsultasi kepada Gubernur .
7. Pemberhentian
Kepala Daerah
Dalam
UU No. 32 Tahun 2004 peluang DPRD untuk memberhentikan Kepala Daerah di dalam
masa jabatannya agak dipersulit. DPRD hanya dapat mengajukan pendapat mengenai
alasan pemberhentian Kepala Daerah karena melanggar sumpah/janji dan tidak
melaksanakan kewajibannya kepada Mahkamah Agung, yang kemudian dari putusan
Mahkamah Agung tersebut diusulkan kepada Presiden. Pendapat DPRD yang akan
diajukan kepada MA tersebut harus melalui mekanisme rapat paripurna yang
dihadiri oleh sekurang-kurangnya tiga perempat dari jumlah anggota DPRD dan
putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah
anggota yang hadir. Pemberhentian Kepala Daerah hanya dapat dilakukan oleh
Presiden tanpa atau dengan adanya usulan DPRD.
Politik
Hukum Otonomi Daerah di Era Reformasi (Jilid III)
Pembenahan
sektor otonomi daerah terus dilakukan. Merasa UU No. 32 Tahun 2004 belum dapat
memuaskan aspirasi rakyat di daerah, maka pemerintah bersama DPR sedang
merumuskan format paket rancangan UU Pemerintahan Daerah yang baru. Kelak, UU
No. 32 Tahun 2004 tersebut akan dipecah menjadi 3 (tiga) undang-undang baru,
yaitu: (i) UU tentang Pemerintah Daerah, (ii) UU tentang Pemilihan Kepala
Daerah, dan (iii) UU tentang Desa.
Argumentasi
muculnya isu ini adalah karena ada gejolak politik dari masyarakat bawah yang
menghendaki agar pelaksanaan otonomi daerah tidak bersifat “dualisme” lagi.
Selain itu juga pemilihan kepala daerah secara langsung seperti saat ini,
dirasa sia-sia. Karena pemilihan secara demokratis hanya akan membuat
masyarakat menjadi bodoh. Masyarakat Indonesia yang cenderung masih berada di
bawah garis kemiskinan, ternyata belum siap untuk berkontribusi langsung dalam
pemilihan kepala daerah. Oleh karenanya, pengembalian sistem pemilihan
kepada DPRD menjadi wacana hangat saat ini.
Selain
itu juga, usulan lain yang tertuang dalam RUU Pemilihan Kepala Daerah tersebut
adalah peniadaan wakil bagi gubernur, bupati, dan walikota. Alasannya adalah
karena UUD 1945 hanya menyebut gubernur, bupati, dan walikota dipilih secara
demokratis, tanpa menyebut wakilnya. Namun, terhadap usulan ini sebagian
anggota DPR belum bersepakat menyetujuinya karena menganggap posisi wakil
adalah bagian dari representasi kemajemukan masyarakat di daerah.
Argumentasinya adalah dimana paket gubernur dan wakilnya, atau bupati atau
walikota dan wakilnya merupakan bagian dari akomodasi kemajemukan politik,
golongan, atau kelompok dalam masyarakat. Peniadaan wakil kepada daerah tentu
sedikit banyak dapat mengurani representasi kemajemukan itu sendiri. Sehingga
dapat menciderai sisi demokrasi dan aspirasi dari masyarakat.
Kemudian,
ada isu yang cukup menyita perhatian, yaitu adanya aspirasi dari warga desa di
setiap daerah agar sesegera mungkin diundangkannya UU tentang Desa. Dimana
dalam undang-undang tersebut diamanatkan bahwa ada persentase dana yang
dialokasikan dari APBN untuk kemakmuran desa. Setidaknya ada 6 (enam) isu
hangat yang dibahas dalam rancangan UU tentang Desa ini, yaitu perihal
kedudukan desa, penataan desa, kewenangan desa, penyelenggaraan pemerintahan
desa, keuangan desa, serta pembangunan desa dan kawasan pedesaan. Oleh
karena itu, bila selama ini desa hanya dipandang sebagai struktur kecil dari
sistem pemerintahan di republik ini dan cenderung diabaikan oleh pemerintah
pusat, maka kini mulai menuntut haknya.
Dinamika
yang terjadi semacam ini, tentua akan menciptkan konsep otonomi daerah yang
ideal. Mengingat demografi Indonesia yang tidak memungkinkan untuk celah
sentralisasi, maka otonomi daerah secara penuh menjadi solusi yang tidak dapat
ditawar-tawar lagi.
Konklusi
Penyelenggaraan
pemerintahan di daerah mengalami berbagai eksperimen sistem. Hal tersebut dapat
terlihat dari perubahan yang terjadi sepanjang sejarah UU tentang pemerintah
daerah. Penyelenggaraan pemerintahan di daerah tidak terlepas dari konfigurasi
politik yang berkuasa atau berpengaruh pada masa berlakunya UU tentang
Pemerintahan Daerah tersebut.
Politik hukum otonomi daerah pada era reformasi ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah daerah yang kemudian dirubah dengan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Kedua UU tersebut pada dasarnya merupakan perubahan paradigma pembangunan nasional yang dikonsep oleh orde baru menjadi paradigma pelayanan dan pemberdayaan dengan pola kemitraan yang desentralistik. Pemerintah pusat memberikan kewenangan tertentu kepada daerah untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri dalam konsep Negara kesatuan Republik Indonesia. Asas penyelenggaraan pemerintah di daerah tidak lagi sentralistik melainkan desentralisasi.
Politik hukum otonomi daerah pada era reformasi ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah daerah yang kemudian dirubah dengan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Kedua UU tersebut pada dasarnya merupakan perubahan paradigma pembangunan nasional yang dikonsep oleh orde baru menjadi paradigma pelayanan dan pemberdayaan dengan pola kemitraan yang desentralistik. Pemerintah pusat memberikan kewenangan tertentu kepada daerah untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri dalam konsep Negara kesatuan Republik Indonesia. Asas penyelenggaraan pemerintah di daerah tidak lagi sentralistik melainkan desentralisasi.
M.D,
Moh. Mahfud. 2006. Membangun Politik Hukum: Menegakkan Konstitusi.
Jakarta: Pustraka LP3ES Indonesia.
HUBUNGAN
PUSAT DAN DAERAH PADA DIMENSI KEWENANGAN ANTARA DPRD DENGAN KEPALA DAERAH *
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Salah satu persoalan yang mendapat perhatian serius setelah reformasi pada tahun 1998 adalah persoalan pemerintah daerah. Sejarah ketatanegaran Republik Indonesia menunjukkan bahwa sebelum UUD Negara Republik Indonesia 1945 diamandemen persoalan hubungan antara pusat dan daerah sangat tidak jelas. Hal lain yang dapat disimpulkan dari rumusan pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia 1945 dan penjelasannya adalah bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan dengan sistem desentralistik. Desentralisasi merupakan salah satu sendi susunan organisasi negara yang diterima dan disepakati oleh para pembentuk Negara Republik Indonesia.[1] Dengan demikian wajar apabila GBHN menggariskan pengembangan hubungan yang serasi dan tepat antara pusat dan daerah sebagai salah satu sasaran pembangunan nasional di bidang pemerintahan.
Salah satu persoalan yang mendapat perhatian serius setelah reformasi pada tahun 1998 adalah persoalan pemerintah daerah. Sejarah ketatanegaran Republik Indonesia menunjukkan bahwa sebelum UUD Negara Republik Indonesia 1945 diamandemen persoalan hubungan antara pusat dan daerah sangat tidak jelas. Hal lain yang dapat disimpulkan dari rumusan pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia 1945 dan penjelasannya adalah bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan dengan sistem desentralistik. Desentralisasi merupakan salah satu sendi susunan organisasi negara yang diterima dan disepakati oleh para pembentuk Negara Republik Indonesia.[1] Dengan demikian wajar apabila GBHN menggariskan pengembangan hubungan yang serasi dan tepat antara pusat dan daerah sebagai salah satu sasaran pembangunan nasional di bidang pemerintahan.
Hubungan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki empat dimensi penting
untuk dicermati, yaitu meliputi hubungan kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan
pengawasan. Pertama, pembagian kewenangan untuk
menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan tersebut akan sangat mempengaruhi
sejauhmana Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki wewenang untuk
menyelenggarakan urusan-urusan Pemerintahan, karena wilayah kekuasaan
Pemerintah Pusat meliputi Pemerintah Daerah, maka dalam hal ini yang menjadi
obyek yang diurusi adalah sama, namun kewenangannya yang berbeda. Kedua,
pembagian kewenangan ini membawa implikasi kepada hubungan keuangan, yang
diatur dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Ketiga, implikasi
terhadap hubungan kelembagaan antara Pusat dan Daerah mengharuskan
kehati-hatian mengenai besaran kelembagaan yang diperlukan untuk melaksanakan
tugas-tugas yang menjadi urusan masing-masing. Keempat, hubungan
pengawasan merupakan konsekuensi yang muncul dari pemberian kewenangan, agar
terjaga keutuhan negara Kesatuan.
Pengaturan
yang demikian menunjukkan bahwa tarik menarik hubungan tersebut kemudian
memunculkan apa yang oleh Bagir Manan disebut dengan spanning antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Memperhatikan uraian tersebut diatas
maka timbul beberapa persoalan mengenai pola hubungan antara Pusat dan
Daerah khususnya pada dimensi kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang terkait
dengan pola hubungan antara Pusat dan Daerah khususnya pada dimensi
kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah sebagai berikut:
1. Apa
yang menjadi teori dan asas penyelenggaraan pemerintah daerah?
2. Bagaimana
Pola Hubungan Pusat dan Daerah dari dimensi kewenangan Antara DPRD dengan
Kepala Daerah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Teori
dan Asas-asas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
Terbentuknya
satuan pemerintahan tingkat daerah adalah konsekuensi adanya konsep pembagian
dan pembatasan kekuasaan sebagai salah satu ciri negara hukum. Sebagaimana
diketahui pembagian kekuasaan dikenal adanya pembagian kekuasaan horizontal dan
vertikal. [2] pembagian secara horizontal yaitu pembagian kekuasaan yang mana
kekuasaan pada suatu negara di bagi dan diserhakan kepada tiga badan, yaitu
kekuasaan eksekutif diserahkan kepada pemerintah, kekuasaan legislatif
diserahkan pada parlemen dan kekuasaan yudikatif diserahkan pada badan
peradilan. Selanjutnya pembagian secara vertikal yaitu pembagian kekuasaan
antara pemerintah pusat dengan satuan pemerintah lainnya yang lebih rendah
“dari segi hierarkis atau susunan pemerintahan”.
Yang
melata belakangi gagasan dianutnya pembagian kekuasaan secara vertikal meliputi
bebera sebab diantaranya:[3]
1. Kemampuan
pemerintah berikut perangkatnya yang ada di daerah terbatas;
2. Wilayah
negara sangat luas, terdiri dari 3000 pulau-pulau besar dan pulau kecil;
3. Pemerintah
tidak mungkin mengetahui seluruh dan segala macam kepentingan dan masalah yang
dihadapi dan hanya mereka yang mengetahui bagaimana cara yang sebaik-baiknya
untuk memenuhi kebutuhan tersebut;
4. Hanya
rakyat setempatlah yang mengetahui kebutuhan, kepentingan dan masalah yang
dihadapi;
5. Dilihat
dari segi hukum, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasl 18 menjamin
adanya daerah dan wilayah;
6. Adanya
sejumlah urusan pemerintahan yang bersifat kedaerahan;
7. Daerah
mempunyai kemampuan dan perangkat yang cukup memadai untuk menyelenggarakan
urusan rumah tangganya.
Dalam
penyelenggaraan pemerintahan tersebut pemerintah berpedoman pada beberapa asas,
yaitu:[4]
1. Asas
keahlian, asas keahlian dapat dilihat pada susunan pemerintah pusat. Semuanya
diolah oleh ahli-ahli dalam susunan kementerian-kementerian. Berdasarkan asasa
keahlian maka setiap ursan pemerintah secara benar dan selektif diserahkan
kepada mereka yang mempunyai keahlian atau prfesionalisme di bidangnya.
2. Asas
kedaerahan, dengan bertambah banyaknya kepntingan-kepentingan yang harus
dieselenggarakan oleh pemerontah pusat karena semakin majunya masyarakat, maka
pemerintah tidak dapat mengurus semua kepentingan-kepentingan tersebut dengan
baik tanpa berpegang pada asas kedaerahan dalam menjalankan pemerintahan.
Selanjuntnya dalam peraturan perundangan
pemerintah daerah dikenal beberapa asas peyelenggaraan pemerintah daerah ,
seperti asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan asas pembantuan. Namun sebelum
membahas hal tersebut terlebih dahulu dijelaskan pengertian dari desentralisasi
dan dekonsentrasi. Secara etimologi istilah desentralisai berasal dari bahasa
latin yang berarti De: lepas dan Centrum: pusat,
dengan demikian desntralisasi berarti melepaskan dari pusat. Dari sudut
pandang ketatanegaraan desentralisasi merupaka pelimpahan kekuasaan pemerintah
dari pusat kepada daerah-daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri.[5]
Selanjutnya Bagir Manan menjelaskan bahwa secara umum desentralisasi merupakan
‘bentuk atau tindakan memencarkan kekuasaan atau wewenang dari suatu organisasi,
jabatan, atau pejabat’.[6] Lebih lanjut Bagir Manan berpendapat bahwa
desentralisasi bukan merupakan asas penyelenggaraan pemerintahan daerah,
melainkan suatu proses.[7] Lebih jelas pada pasal 1 UU No. 5 tahun 1974
merumuskanDesentralisasi sebagai penyerahan urusan pemrintahan dari
pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah
tangganya. Sedangkan Dekonsentrasi merupakan pelimpahan
wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal
tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah. Selanjutnya Tugas
Pembantuan merupakan tugas untuk turut serta dalam melaksanakan
urusan/ pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah
arau pemerintah daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggung jawabkan
kepada yang menugaskannya.
Namun
lebih jelasnya bahwa dalam desentralisasi dan dekonsentrasi mengandung
ciri-ciri tersendiri sebagai berikut:
1.
Ciri-ciri Desentralisasi
- a.
Bentuk pemencaran adalah penyerahan;
- b.
Pemencaran terjadi kepada daerah (bukan perorangan);
- c.
Yang dipencarkan adalah urusan pemerintahan;
- d.
Urusan pemerintahan yang dipencarkan menjadi urusan pemerintah daerah.
2.
Ciri-ciri Dekonsentrasi
- a.
Bentuk pemencaran adalah pelimpahan;
- b.
Pemencaran terjadi kepada pejabat sendiri (perorangan);
- c.
Yang dipencarkan (bukan urusan pemerintahan) tetapi wewenang untuk
melaksanakan sesuatu;
- d.
Yang dilimpahkan tidak menjadi urusan rumah tanggasendiri.
Memperhatikan
ciri-ciri tersebut dapat dikatakan bahwa dalam dekonsentrasi, kekuasaan dan
kewenangan urusan pemerintahan hakikatnya masih berada ditangan pemerintah
pusat. Hal ini dapat di simpulkan dari istilah “pelimpahan” yang membedakan
dengan istilah “penyerahan”.
Berdasarkan hal tersebut maka timbul
persoalan hukum berkaitan dengan perbedaan pengelompokan desentralisasi dan
dekonsentrasi dalam perspektif yuridis formal. Dalam UU yang mengatur
pemerintahan daerah desentralisasi dan dekonsentrasi merupakan asas
penyelenggraan pemerintahan daerah, tetapi menurut UUD Negara Republik
Indonesia 1945 menyebutkan bahwa yang merupakan asas penyelenggaraan
pemerintahan daerah hanya meliputi asas otonomi dan tugas pembantuan. Namun
perlu di ingat bahwa dalam teori perundang-undangan khususnya mengenai
asas-asas perundang-undangan terdapat assa hirarki. Artinya bahwa peraturan
perundangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi. Konsekuensinya adalah apabila peraturan yang lebih rendah
bertentang degan peraturan yang lebih tinggi maka peraturan tersebut batal demi
hukum. Sebagaimana diketahui bahwa Pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia
1945 hasil amandemen merupakan landasan konstitusional pemerintah daerah, yang
memuat paradigma baru dan arah politik pemerintahan daerah sebagai berikut:[8]
1. Prinsip
daerah mengatur dan mngurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan;
2. Prinsip
menjalankan otonomi seluas-luasnya ( pasal 18 ayat (5) );
3. Prinsip
kekhususan dan keragaman daerah ( pasal 18 ayat (1) );
4. Prinsip
mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa
(pasal 18 B ayat (1) );
5. Prinsip
mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
( pasal 18 B ayat (2) );
6. prinsip
hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil ( pasal 18
ayat (2) );
7. prinsip
badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum ( pasal 18 ayat
(3) ).
Hilangnya Desentralisasi dan Dekonsentrasi sebagai asas penyelenggaraan pemerintahan dari pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia 1945 hasil amandemen merupakan hal yang wajar, mengingat pengertian umum desentralisasi adalah setiap bentuk atau tindakan memencarkan kekuasaan atau wewenang dari suatu organisai, jabatan atau pejabat. Dengan demikian dekonsentrasi secara umum dapat dipandang sebagai bentuk desentralisasi, karena mengandung makna pemencaran.[9]
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Desentralisasi dan
Dekonsentrasi bukanlah asas penyelenggaraan pemerintahan dengan alasan, baik
desentralisasi maupun dekonsentrasi mengandung pengertian/hakikatnya merupakan
pemencaran kekuasaan; desentralisasi merupakan proses penyerahan kekuasaan atau
wewenang dan dekonentrasi merupakan cara dalam menjalankan sesuatu.
Mengingat
bahwa kedudukan UUD Negara Republik Indonesia 1945 lebih tinggi dari UU atu
bentuk peraturan lainnya, maka yang menjadi asas penyelenggaraan pemerintahan
daerah meliputi:
1.
Asas Otonomi
Secara etimologi otonomi bersala dari kata oto ( auto = sendiri ) dan nomoi ( nomoi = nomos = undang-undang/aturan) yang berarti mengatur sendiri.
Dalam
tata pemerintahan otonomi diartikan sebagai mengatur atau mengurus rumah tangga
sendiri. Berikut ini beberapa ahli mengemukakan pengertian otonomi:
a) Van
der Pot menyatakan bahwa pada pokoknya otonomi itu berarti peraturan dan
pemerintahan dari urusan sendiri, yang dalam UUD belanda dinamakan” rumah
tangga sendiri” [10]
b) Logemann
menyatakan bahwa otonomi berarti memberi kesempatan kepadanya mempergunakan
prakarsanya sendiri dari segala macam kekuasaannya untuk mengurus kepentingan
umum (penduduk)
c) Van
Vollen Hoven menyatakan bahwa otonomi yaitu kekuasaan bertindak merdeka (Vrij
Beweging) yang diberikan kepada satuan-satuan kenegaraan yang
memerintah sendiri daerahnya itu, adalah kekuasaan yang berdasarkan inisiatif
sendiri itulah yang disebut otonomi.
Selain pendapat beberapa ahli diatas pengertian otonomi juga dapat dilihat dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 pada pasal 18 ayat (2) kata “otonomi” disatukan dengan kata “asas” sehingga dikenal dengan istilah “asas otonomi”, yang menjelaskan anak kalimat sebelumnya, yang berarti “pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus (garis bahaw pen)sendiri urusan pemerintahan”. Berdasarkan hal tersebut “ otonomi” berarti mengatur dan mengurus sendiri.
Berdasarkan
uraian diatas maka dapat dipahami bahwa hakikat otonomi tidak lain adalah suatu
kebebasan dan kemandirian daerah untuk mengatur sendiri atau menyelenggarakan
urusan serta kepentingannya berdasarkan inisiatif dan prakarsa serta
aspirasi masyarakat daerah. Maka prinsip otonomi dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara merupakan pilihan yang dilakukan secara cerdas oleh para
pendiri negara (The Founding Fathers) pada saat membicarakan
dasar negara, meskipun pada akhirnya pilihan otonomi tidak dijadikan materi
muatan UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus
1945, melainkan akan diatur kemudian dalam undang-undang yang mengatur mengenai
pemerintah daerah.
2. Asas Tugas Pembantuan.
Secara etimologi tugas pembantuan merupakan terjemahan dari bahasa belanda Medebewind/Zelfbestuur yang berasal dari kata mede= serta, turut dan bewind= berkuasa atau memerintah. Medebewind pertama kali diperkenalkan oleh Van Vollen Hoven. Medebewind merupakan peaksanaan peraturan yang disusun oleh alat perlengkapan yang lebih tinggi oleh yang rendah. Zelfbestuur yang merupakan terjelamahan dari bahasa Inggris Selfgovernment yang berarti segala pemerintahan ditiap bagan dari negeri Inggris. Sjachran Basah merumuskan bahwa yang dimaksud dengan tugas pembantuan yaitu menjalankan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya dari pihak lain secara bebas. Secara bebas artinya bahwa terdapat kemungkinan untuk mengadakan peraturan yang mengkhususkan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, agar sesuai dengan kenyataan sbenarnya di daerah-daerah sendiri.[11]
Berdasarkan
uraian diatas dapat dipahami bahwa dalam memberikan batasan mengenai tugas
pembantuan secara redaksional terdapat perbedaan namun substansinya sama, yakni
tugas untuk membantu pelaksanaan urusan pemerintah tingkat atasnya. Hanya saja
mengenai hal ini, Bagir Manan mengklasifikasikan tugas pembantuan tersebut
sebagai “kewajiban”, artinya bahwa kewajiban untuk mempertanggungjawabkan dalam
pelaksanaan urusan tersebut.
Pengertian tugas pemabantuan juga dapat dilihat pada pasal 1 huruf (g) UU NO. 22 tahun 1999 yang menjelaskan bahwa tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelakasanaannya dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.
Berdasarkan
pengertian pada pasal tersebut, maka yang terpenting dan perlu di ingat dalam
tugas pembantuan adalah unsur pertanggung jawaban yang di emban oleh satuan
pemerintahan yang “membantu“.
Dalam
menjalankan tugas pembantuan tersebut, urusan-urusan yang diselenggarakan oleh
pemerintah daerah itu, masih tetap merupakan urusan pusat c.q. daerah yang
lebih atas, tidak beralih menjadi urusan rumah tangga yang dimintakan bantuan,
akan tetapi bagaimana daerah otonom yang dimintakan bantuan melakukan tugas
pembantuannya. Dalam hal daerah atau satuan pemerintahan yang dimintakan
bantuan melaksanakan tugas pembantuan, tidak dapat mempertanggung jawabkan
pelaksanaan tugas pembantuan, maka tugas pembantuan tersebut dapat dihentikan
dengan tidak menutup kemungkinan pemerintah yang mempunyai urusan pemerintahan
tersebut meminta ganti kerugian dari daerah yang tidak bertanggung jawab
tersebut.
Memperhatikan hal tersebut mununjukkan asas tugas pembantuan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah merupakan salah satu asas yang sangat penting, bahkan secara tegas dicantumkan dalam pasal 18 ayat (2). Dengan demikian yang perlu diketahui adalah latar belakang atau dasar dipergunakannya asas tugas pembantuan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. berikut ini terdapat 3 latar belakang atau dasar dipergunakannya asas tugas pembantuan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
a) Keterbatasan
kemampuan pemerintah pusat atau daerah yang lebih tinggi dalam hal yang
berhubungan dengan perangkat atau sumber daya manusia maupun biaya;
b) Untuk
mencapai daya guna dan hasil guna yang lebih baik dalam penyelenggaraan
pemerintahan;
c) Sifat
urusan yang dilaksanakan.
Berkaitan
dengan sifat urusan yang dilaksanakan Ateng Syafruddin memberikan ukuran atau
parameter materi muatan yang merupakan tugas pembnatuan, yang meliputi:
a) Urusan
terseubut berakibat langsung kepada masyarakat;
b) Urusan
yang secara tidak langsung tidak memberi dampak terhadap kepentingan
masyarakat, karena semata-mata membantu urusan pusat;
c) Urusan
yang meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelayananyang langsung memenuhi
kebutuhan masyarakat daerah;
d) Urusan
yang tidak bersifat strategis nasional dan urusan yang tidak memerlukan
keseragaman nasional.
Berdasarkan ukuran atau parameter tersebut, maka penyelenggaraan asas tugas pembantuan dapat mendatangkan keuntungan, baik bagi pemerintah daerah atau pemerintah tingkat atasnya. Bagi pemerintah pusat asas tugas pembantuan sangat meringankan beban, baik biaya, aparatur maupun tenaga yang harus dikeluarkan dalam melaksanakan urusan pemerintahan sehingga efisiensi dan efektifitas akan mudah dicapai. Sedangkan bagi daerah keuntungan yang didapatkan yaitu pengalaman dalam berkreasi untuk memilih cara dan mekanisme penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan, sehingga pada saat suatu urusan diserahkan sebagai urusan rumah tangga daerah yang bersangkutan, maka darah tersebut hanya melanjutkan dan menyempurnakannya.
Namun
terkait hal diatas Bagir Manan menilai bahwa, selain tidak sesuai dengan
perkembangan, ada menfaat lain untuk tidak menarik garis pemisah yang tegas
antara otonomi ‘dan tugas pembantuan. Tugas pembantuan dalam hal-hal tertentu
dapat dijadikan “terminal” menuju “penyerahan penuh” suatu urusan kepada
daerah. dan tugas pembantuan merupakan tahap awal sebagai persiapan menuju
kepada penyerahan penuh.
B. Pola Hubungan Pusat dan Daerah dari Dimensi Kewenangan antara DPRD
dengan
Kepala Daerah
Sebelum
melangkah lebih jauh mengenai pola hubungan pusat dan daerah dari dimensi
kewenangan maka ada baiknya terlebih dahulu perlu diketahui pengertian atau
batasan mengenai kewenangan.
Kewenangan
berasal dari kata dasar “wewenang” yang bahasa hukum tidak sama dengan
kekuasaan. Menurut Bagir Manan Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat
atau tidak berbuat. Dalam hukum sebagimana dikemukakan J.G Steenbeek, bahwa
wewenang/kewenangan yang didalamnya terkandung hak dan kewajiban. Dalam
kaitannya dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk
mengatur sendiri dan mengelola sendiri. Sedangkan kewajiban mempunyai dua
pengertian yaitu secara horizontal dan vertikal.[12]
Salah
satu konsekuensi dianutnya sistem otonomi yang menyerahkan kekuasaan
pemerintahan dari pusat kepada daerah-daerah adalah perlunya pengaturan
hubungan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah sehingga otonomi
daerah di satu sisi dapat dijalankan, dan di sisi lain prinsip negara kesatuan
tidak dilanggar. Dengan adanya dasar kewenangan yang sah maka setiap tindakkan
dan perbuatan hukum yang dilakukan oleh setiap level pemerintahan dapat
dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang sah. Sebaliknya,
apabila tanpa ada dasar kewenangan, maka setiap tindakan dan perbuatan hukum
yang dilakukan oleh setiap level pemerintah dapat dikategorikan sebagai
tindakkan dan perbuatan yang bertentangan dengan hukum (tidak sah) dan dapat
juga dikatakan sebagai pelanggaran terhadap asas-asas umum pemerintahan yang
baik.
Secara
khusus, kewenangan pemerintahan juga berkaitan dengan hak, kewajiban, dan
tanggung jawab diantara berbagai level pemerintahan yang ada. Dengan demikian,
terjadi perbedaan tugas dan wewenang di antara berbagai level pemerintahan
tersebut, dan pada akhirnya dapat menciptakan perbedaan ruang lingkup kekuasaan
dan tanggungjawab di antara mereka. Oleh karena itu, makna dari perbedaan hak,
kewajiban dan tanggungjawab dari berbagai level pemerintahan yang ada merupakan
suatu hal yang secara pokok menggambarkan secara nyata kewenangan yang dimiliki
oleh masing-masing level pemerintahan yang ada di suatu negara.
Kewenangan biasa juga disebut kekuasaan
formal, kekuasaan yang berasal dari atau yang diberikan oleh Undang-undang,
yaitu kekuasaan Legislatif dan kekuasaan Eksekutif atau Administratif.
Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan hukum public,
misalnya wewenang menerbitkan surat izin dari seorang pejabat atas nama Menteri
atau Gubernur Kepala Daerah, sedangkan kewenangan tetap berada ditangan
Menteri/Gubernur Kepala Daerah, dalam hal ini terdapat pendelegasian wewenang,
jadi dalm kewenangan terdapat wewenang-wewenang (Rechtsbevoegheden).[13]
Pasal
18 A ayat (1) UUD 1945 memberikan dasar konstitusional pengaturan hubungan
wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyebutkan bahwa;
“Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan
undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”.
Berdasarkan
ketentuan tersebut, untuk mengatur hubungan kewenangan pusat dan daerah yang
diamanatkan UUD 1945 dapat dilakukan melalui berbagai peraturan
perundang-undangan, baik yang khusus mengatur otonomi daerah, atau tersebar di
berbagai peraturan perundang-undangan sektoral lainnya. Hal ini didasarkan pada
kenyataaan empiris dan yuridis yang menggambarkan bahwa materi dan cakupan
pengaturan tentang hubungan kewenangan pusat dan daerah tidak dapat hanya
diatur oleh satu undang-undang. Hubungan keuangan, pelayanan umum, serta
pemanfaatan sumber daya terkait dengan berbagai sektor lain yang tidak dapat
diperlakukan secara sama. Oleh karena itu diperlukan adanya undang-undang yang
khusus mengatur hubungan kewenangan pusat dan daerah secara umum serta
dibutuhkan pula berbagai undang-undang lainnya yang berkaitan dengan otonomi
daerah.
Hubungan kewenangan adalah hubungan
antara organ pemerintah daerah, yaitu antara DPRD dengan kepala daerah yang
sifatnya satu arah atau dua arah (timbal balik) dalam rangka menjalankan urusan
pemerintahan yang didistribusikan dan didelegasikan dari pemerintah Pusat
sebagai urusan otonomi dan pembantuan. Rumusan tersebut mengandung beberapa hal
yaitu:[14]
1.
Hubungan kewenangan antara kedua organ pemerintahan daerah (DPRD dengan Kepala
Daerah) adalah hubungan dalam rangka menjalankan otonomi dan tugas pembantuan;
2.
Hubungan kewenangan tersebut dalam rangka menjalankan urusan di bidang
administrasi negara (pemerintahan) bukan dalam bidang ketatanegaraan;
3.
Hubungan kewenangan tersebut dapat bersifat sepihak (searah) dan juga dapat
bersifat dua pihak (dua arah) atau timbal balik;
4.
Hubungan kewenangan antara kedua organ tersebut tetap dalam kerangka konsep
atau prinsip negara kesatuan;
5.
Dari segi kedudukannya, hubungan kewenangan antara DPRD dengan kepala daerah
adalah sederajat dan ttidak saling mendominasi satu sama lainnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat di simpulkan bahwa, hal mendasar dalam hubungan kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah adalah melaksanakan urusan pemerintahan di bidang otonomi dan tugas pembantuan.
Bila
di telusuri lebih jauh mengenai ketentuan yang mengatur tentang kewenangan DPRD
dan Kepala Daerah di berbagai peraturan perundang-undangan berdasarkan UUD
Negara Republik Indonesia tahun1945, maka hubungan kewenangan antara DPRD
dengan Kepala Daerah dapat di kelompokkan kedalam beberapa jenis yaitu:
1.
Hubungan Pemilihan; Hubungan pemilihan adalah hubungan yang erat kaitannya
dengan pelaksanaan wewenang DPRD sebagai Wakil Rakyat untuk menyeleksi dan
memilih Kepala Daerah sebagai organ yang bertanggung jawab melaksanakan
pemerintahan sehari-hari. Hubungan ini bersifat satu pihak (satu arah)
2.
Hubungan Perundang-undangan; Hubungan ini merupakan konsekuensi dari
pemerintahan yang berotonomi dalam rangka mengatur dan mengurus rumah tangganya
sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan rakyatnya. Hubungan ini bersifat timbal
balik (dua arah).
3.
Hubungan Anggaran; Hubungan anggaran yaitu hubungan kewenangan antara DPRD
dengan Kepala Daerah dalam rangka penyusunan RAPBD dan menetapkan APBD serta
perubahan APBD. Hubungan ini juga bersifat timbal balik (dua arah).
4.
Hubungan Pengawasan; hubungan pengawasan yaitu hubungan yang dimiliki oleh anggota
DPRD dan DPRD secara kelembagaan terhadap Kepala Daerah sebagai pencerminan
dari pemerintahan yang demokratis. Hubungan ini bersifat satu pihak (satu
arah).
5.
Hubungan Pertanggung jawaban; Hubungan pertanggung jawaban yaitu suatu
instrument untuk melihat, mengevaluasi dan menguji sejauh mana penyelenggaraan
pemerintahan dalam suatu periode tertentu terlaksana atau belum sesuai dengan
rencaca dan program yang ditetapkan berdasrkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. hubungan ini bersifat satu pihak (satu arah).
6. Hubungan Administrasi; Hubungan administrasi yaitu hubungan dalam hal pengangkatan pejabat birokrasi daerah, misalnya sekretaris daerah dan sekretaris dewan serta pejabat politik seperti wakil kepala daerah (Wakil Gubernur). Hubungan ini bersifat Administratif.
6. Hubungan Administrasi; Hubungan administrasi yaitu hubungan dalam hal pengangkatan pejabat birokrasi daerah, misalnya sekretaris daerah dan sekretaris dewan serta pejabat politik seperti wakil kepala daerah (Wakil Gubernur). Hubungan ini bersifat Administratif.
Berdasarkan
jenis-jenis hubungan kewenangan tersebut, maka pada prinsipnya,urgensi hubungan
antara DPRD dan Eksekutif meliputi hal-hal seperti; Representatif, Anggaran,
Pertanggung jawaban, Pengawasan, Pembinaan peraturan, Pembuatan Peraturan
Daerah dan Pengangkatan Sekretaris Daerah.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Mengingat
bahwa kedudukan UUD Negara Republik Indonesia 1945 lebih tinggi dari UU/
peraturan perundangan lainnya maka yang menjadi asas penyelenggaraan
pemerintahan daerah meliputi Asas Otonomi dan Asas Pembantuan. Desentralisasi
dan Dekonsentrasi bukanlah asas penyelenggaraan pemerintahan dengan alasan,
baik desentralisasi maupun dekonsentrasi mengandung pengertian yang hakikatnya
merupakan pemencaran kekuasaan; desentralisasi merupakan proses penyerahan
kekuasaan atau wewenang dan dekonsentrasi merupakan cara dalam menjalankan
sesuatu.
2. Hubungan
kewenangan adalah hubungan antara organ pemerintah daerah, yaitu antara DPRD
dengan kepala daerah yang sifatnya satu arah atau dua arah (timbal balik). Hal
mendasar dalam hubungan kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah adalah
melaksanakan urusan pemerintahan di bidang otonomi dan tugas pembantuan.
urgensi hubungan antara DPRD dan Eksekutif meliputi hal-hal seperti;
Representatif, Anggaran, Pertanggung jawaban, Pengawasan, Pembinaan peraturan, Pembuatan
Peraturan Daerah dan Pengangkatan Sekretaris Daerah.
B. Saran
1.
Perlu adanya pengaturan yang lebih jelas mengenai ukuran atau indikator
tertentu dalam penyelenggaraan/pelaksanaan suatu urusan pemerintahan agar dapat
dilakukan dengan baik dan mencapai sasaran yang diharapkan.
2.
Perlu adanya Publikasi dan Transparansi pertanggung jawaban Kepala Daerah
kepada masyarakat demi tercapainya Good Governance.
Basah
Sjachran, 1986, Tiga Tulisan tentang Hukum, Armico, Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar