Minggu, 23 Juli 2017

Pendekatan Pembelajaran

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Di era globalisasi seperti ini semua aspek kehidupan dituntut untuk terus maju dan berkembang dengan cepat. Peningkatan kualitas sumber daya manusia di Indonesia terus diupayakan dan dikembangkan seiring dengan perkembangan jaman yang semakin global. Peningkatan sumber daya manusia juga berpengaruh terhadap dunia pendidikan. Pendidikan merupakan ujung tombak dalam pengembangan sumber daya manusia harus bisa berperan aktif dalam meningkatkan kualitas dan juga kuantitas. Upaya pengembangan tersebut harus sesuai dengan proses pengajaran yang tepat agar anak  didik dapat merima didikan dengan baik.
Dewasa ini, proses belaja mengajar di sekolah baik SD, SMP, maupun SMA masih menggunakan paradigma lama, yaitu didominasi oleh peran dan kegiatan guru, dimana guru yang lebih aktif dalam mengajar daripada peserta didiknya. Peserta didik hanya mendengarkan penjelasan yang guru sampaikan. Peserta didik cendrung tidak diajak untuk mengetahui dan memahami peristiwa dan konsep mengenai materi fisika kurrang dikuasai oleh peserta didik dan peserta didik pun lambat dalam memahami materi pembelajaran fisika
Dalam kegiatan belajar mengajar sangat diperlukannya interaksi antara guru dan murid yang memiliki tujuan. Agar tujuan ini dapat tercapai sesuai dengan target dari guru itu sendiri, maka sangatlah perlu terjadi interaksi positif yang terjadi antara guru dan murid. Dalam interaksi ini, sangat perlu bagi guru untuk membuat interaksi antara kedua belah pihak berjalan dengan menyenangkan dan tidak membosankan. Hal ini selain agar mencapai target dari guru itu sendiri, siswa juga menjadi menyenangkan dalam kegiatan belajar mengajar, serta lebih merasa bersahabat dengan guru yang mengajar.   
Sehingga dalam  mengajar diperlukan pendekatan dalam pembelajaran , pendidik harus pandai menggunakan pendekatan secara arif dan bijaksana. Pandangan guru terhadap anak didik akan menentukan sikap dan perbuatan.

1.2. Rumusan Masalah
1.    Apa saja pengertian Pendekatan, Strategi, dan Metode pembelajaran?
2.    Apa saja Jenis-jenis Metode Pembelajaran dan Penerapannya?
3.    Apa pengertian dari Pengorganisasian Siswa?

1.3. Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui Pendekatan, Strategi, dan Metode pembelajaran.
2.    Untuk mengetahui Jenis-jenis Metode Pembelajaran dan Penerapannya.
3.    Untuk mengetahui Pengorganisasian Siswa.

1.4. Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang penulis gunakan dalam makalah ini adalah metode library research. yang mana penulis menggunakan buku dan internet sebagai bahan referensi dimana penulis mencari literatur yang sesuai dengan materi yang di kupas dalam makalah ini.








BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pendekatan, Strategi, dan Metode
      
2.1.1. Pendekatan Pembelajaran
Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach).

2.1.2. Strategi Pembelajaran
Dari pendekatan pembelajaran yang telah ditetapkan selanjutnya diturunkan ke dalam Strategi Pembelajaran. Newman dan Logan (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) mengemukakan empat unsur strategi dari setiap usaha, yaitu:
  1. Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil (out put) dan sasaran (target) yang harus dicapai, dengan mempertimbangkan aspirasi dan selera masyarakat yang memerlukannya.
  2. Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama (basic way) yang paling efektif untuk mencapai sasaran.
  3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah (steps) yang akan dtempuh sejak titik awal sampai dengan sasaran.
  4. Mempertimbangkan dan menetapkan tolok ukur (criteria) dan patokan ukuran (standard) untuk mengukur dan menilai taraf keberhasilan (achievement) usaha.
Jika kita terapkan dalam konteks pembelajaran, keempat unsur tersebut adalah:
  1. Menetapkan spesifikasi dan kualifikasi tujuan pembelajaran yakni perubahan profil perilaku dan pribadi peserta didik.
  2. Mempertimbangkan dan memilih sistem pendekatan pembelajaran yang dipandang paling efektif.
  3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah atau prosedur, metode dan teknik pembelajaran.
  4. Menetapkan norma-norma dan batas minimum ukuran keberhasilan atau kriteria dan ukuran baku keberhasilan.
Sementara itu, Kemp (Wina Senjaya, 2008) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Selanjutnya, dengan mengutip pemikiran J. R David, Wina Senjaya (2008) menyebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran terkandung makna perencanaan. Artinya, bahwa strategi pada dasarnya masih bersifat konseptual tentang keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu pelaksanaan pembelajaran.
Dilihat dari strateginya, pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian pula, yaitu: (1) exposition-discovery learning dan (2) group-individual learning (Rowntree dalam Wina Senjaya, 2008). Ditinjau dari cara penyajian dan cara pengolahannya, strategi pembelajaran dapat dibedakan antara strategi pembelajaran induktif dan strategi pembelajaran deduktif. Strategi pembelajaran sifatnya masih konseptual dan untuk mengimplementasikannya digunakan berbagai metode pembelajaran tertentu. Dengan kata lain, strategi merupakan “a plan of operation achieving something” sedangkan metode adalah “a way in achieving something” (Wina Senjaya (2008).

2.1.3. Metode Pembelajaran
Jadi, metode pembelajaran di sini dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran, diantaranya: (1) ceramah; (2) demonstrasi; (3) diskusi; (4) simulasi; (5) laboratorium; (6) pengalaman lapangan; (7) STAD (Student Teams Achievement Division); (8) debat, (9) NHT (Numbered Head Together), dan sebagainya.
2.2. Jenis-jenis Metode Pembelajaran dan Penerapannya
      
2.2.1. Metode Ceramah
Metode ini merupakan metode paling kuno, artinya sejak proses pembelajaran diselenggarakan, metode ceramah merupakan metode yang pertama kali diterapkan oleh para guru. Dalam metode ini, guru menyelenggarakan proses pembelajaran secara lisan, artinya guru menjelaskan secara lisan materi yang harus dipelajari Oleh anak didik.Untuk saat sekarang, metode ini kurang pas sebab orientasi pembelajaran sekarang berpusat kepada anak didik, dan guru hanyalah sebagai fasilitator pendidikan.

2.2.2. Metode Demonstrasi
Pembelajaran ini khusus untuk materi yang memerlukan peragaan media atau eksperimen. Langkahnya adalah: informasi kompetensi, sajian gambaran umum materi bahan ajar, membagi tugas pembahasan materi untuk tiap kelompok, menunjuk siswa atau kelompok untuk mendemonstrasikan bagiannya, dikusi kelas, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

2.2.3. Metode Diskusi
Metode mengajar yang menghendaki sekelompok siswa ( 3 orang atau lebih ) membahas suatu masalah ditinjau dari berbagai segi atau sudut pandang. Contoh : Siswa membahas tentang masalah Pemilihan Umum yang langsung, umum, bebas, dan Rahasia, serta Jujur dan Adil.

2.2.4. Metode Simulasi
Kegiatan belajar dimana siswa ditugasi untuk memerankan atau menirukan perilaku tokoh-tokoh dari suatu situasi atau kejadian yang nyata. Contoh : Siswa ditugasi untuk memerankan berbagai akting seseorang tokoh pada waktu orasi atau membaca laporan pertanggungjawaban dari masing-masing tugas tokoh tersebut.

2.2.5. Metode Laboratorium
Kegiatan belajar yang dilaksanakan dalam suatu laboratorium direncanakan untuk suatu kelompok siswa yang mempelajari suatu bidang studi tertentu termasuk memperaktekkan teori – teori dengan melalui pengamatan, percobaan, riset, mempelajari bahasa asing, termasuk didilamnya belajar dengan jalan demonstrasi, latihan ( drill ) dan praktikum. Contoh : Siswa ditugasi untuk mengamati berbagai kejadian fenomena tentang pembuatan peraturan perundang-undangan dalam gedung DPR/MPR melalui gambar atau foto yang telah ada dalam Laboratorium PPKn.

2.2.6. Metode Pengalaman Lapangan
Kegiatan belajar secara langsung praktek di lapangan kerja yang sesungguhnya. Contoh : Para siswa disuruh mengamati secara langsung bagaimana proses pembuatan Peraturan Daerah,agar lebih jelas.

2.2.7. Metode STAD (Student Teams Achievement Division)
STAD adalah salah satu model pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan, buat kelompok heterogen (4-5 orang), diskusikan bahan belajar-LKS-modul secara kolabratif, sajian-presentasi kelompok sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual dan buat skor perkembangan tiap siswa atau kelompok, umumkan rekor tim dan individual dan berikan reward.

2.2.8. Metode Debat
Debat adalah model pembalajaran dengan sisntaks: siswa menjadi 2 kelompok kemudian duduk berhadapan, siswa membaca materi bahan ajar untuk dicermati oleh masing-masing kelompok, sajian presentasi hasil bacaan oleh perwakilan salah satu kelompok kemudian ditanggapi oleh kelompok lainnya begitu seterusnya secara bergantian, guru membimbing membuat kesimpulan dan menambahkannya biola perlu.



2.2.9. Metode NHT (Numbered Head Together)
NHT adalah salah satu tipe dari pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan, buat kelompok heterogen dan tiap siswa memiliki nomor tertentu, berikan persoalan materi bahan ajar (untuk tiap kelompok sama tapi untuk tiap siswa tidak sama sesuai dengan nomor siswa, tiap siswa dengan nomor sama mendapat tugas yang sama) kemudian bekerja kelompok, presentasi kelompok dengan nomor siswa yang sama sesuai tugas masing-masing sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual dan buat skor perkembangan tiap siswa, umumkan hasil kuis dan beri reward.

2.3. Pengorganisasian Siswa
            Dalam dunia pendidikan, peran pengorganisasian siswa dalam halnya untuk mencapai kemaksimalan dalam pembelajaran juga diperluakan. Dalam hal ini management dari seorang guru dan kebijakannya dalam mengambil keputusan setelah melihat keadaan anak didiknya sangat diperlukan.
            Tentu saja bukan hanya teori serta kematangan berfikir dari seorang guru saja yang dibutuhkan, namun disini penjiwaan dari seorang guru untuk menikmati profesinya (bukan pekerjaannya) dan niatan dalam menjadi tenaga pendidik sudah dirasa sangat perlu untuk ditanamkan. Dengan dukungan penjiwaan serta niatan yang baik dari seorang guru, tentu dalam hal management di dalam kelas untuk menentukan cara pembelajaran mana yang paling tepat untuk siswa yang dihadapinya bukanlah menjadi suatu hal yang sulit.
            Dapat diibaratkan sebagai potongan puzzle, pengorganisasian dalam kelas juga memerlukan suatu kecocokan dengan keadaan dalam kelas. Yang mana dalam hal ini perlu diperhatikan situasi serta kondisi ruangan maupun siswa yang ada di dalamnya. Jika keserasian dalam kelas cocok dengan cara pengorganisasian yang diterapkan, tentunya dapat mengurangi kejenuhan siswa dalam belajar dan kemudian yang akan berdampak pada hasil belajarnya.

2.3.1. Pembelajaran Secara Individual
Pembelajaran secara individual adalah kegiatan mengajar guru yang menitikberatkan kepada bantuan dan bimbingan belajar kepada masing-masing individu. Bantuan dan bimbingan belajar kepada individu juga ditemukan pada pembelajaran klasikal, tetapi prinsipnya berbeda. Pada pembelajaran individual, guru memberi bantuan pada masing-masing pribadi. Sedangkan pada pembelajaran klasikal, guru memberi bantuan individual secara umum.
Yang memiliki ciri-ciri secara umum dimana dalam pembelajaran ini diberikan kepada siswa keleluasaan untuk belajar berdasarkan kemampuan sendiri sehingga dicapai tujuan yang optimal, dengan kata lain disini siswa sebagai subjek yang belajar dan bukan objek yang diberikan materi sehingga siswa dapat mengetahui perkembangan belajarnya.
Peran guru disini bersifat membantu yang berkaitan dengan menejemen jadwal ataupun kegiatan belajar siswa dan sebagai fasilitator yang mempermudah belajar sehingga perlu diciptakan kedekatan yang terbuka antara guru dan siswa.
Pembelajaran individual diciptakan untuk mengatasi kelemahan dari pembelajaran klasikal. Dari segi kebutuhan belajar, progam ini lebih efektif karena siswa belajar sesuai dengan programnya sendiri.
Program pembelajaran individual dapat dilaksanakan secara efektif, bila mempertimbangkan hal-hal berikut :
a. Disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan siswa
b. Tujuan pembelajaran dibuat dan dimengerti oleh siswa
c. Prosedur dan cara kerja dimengerti oleh siswa
d. Kriteria keberhasilan dimengerti oleh siswa
e. Keterlibatan guru dalam evaluasi dimengerti oleh siswa.
Program pembelajaran individual berorientasi pada pemberian bantuan kepada setiap siswa agar ia dapat belajar secara mandiri. Kemandirian belajar tersebut merupakan tuntutan perkembangan individu.
Dalam penekanannya, pembelajaran individual dapat dilakukan dengan model pembelajaran konstruktivistik maupun behavioristik, tergantung pada keadaan siswa ataupun jenjang pendidikannya.
Namun jika diterapkan, pembelajaran secara individual memerlukan waktu yang lebih lama dari pembelajaran klasikal karena dalam pembelajaran secara individual guru harus member bantuan ke masing-masing siswa yang mana tidak dibentuk dengan suatu kelompok.



2.3.2. Pembelajaran Secara Kelompok
Dalam pembelajaran kelompok kecil, guru memberikan bantuan atau bimbingan kepada tiap anggota kelompok lebih intensif. Hal ini dapat terjadi sebab (a) hubungan antar guru dan siswa lebih sehat dan akrab, (b) siswa memperoleh bantuan, kesempatan sesuai dengn kebutuhan, kemampuan dan minat, (c) siswa dilibatkan dalam penentuan tujuan belajar, cara belajar dan kriteria keberhasilan.
Tujuan utama dari pembelajaran secara kelompok ini adalah memberi kesempatan kepada setiap siswa untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah secara rasional, mengembangkan sikap sosial, mengembangkan sikap kepemimpinan dalam memecahkan masalah, dan mendinamiskan kegiatan kelompok belajar.
Siswa dalam kelompok kecil adalah anggota kelompok yang belajar untuk memecahkan masalah kelompok, kelompok kecil merupakan satuan kerja yang kompak. Perbedaan yang paling mencolok dengan pembelajaran secara individu hanya pada ruang lingkupnya. Jika pembelajaran secara individu guru mendatangi setiap individu, dalam pembelajaran kelompok ini guru mendatangi tiap kelompok, Sehingga disini tiap masalah yang ada diselesaikan dengan berdiskusi.
Dalam pembelajaran kelompok ini guru berperan sebagai pemebentuk kelompok dan memberikan perencanaan tugas kelompok. Selain itu guru juga sebagai pemeberi informasi kepada kelompok, fasilitator, pengendali ketertiban kerja serta pembimbing, dan pengevaluasi hasil belajar kelompok yang mana mencakup hasil kerja, perilaku kelompok, proses kerja kelompok yang kemudian dibandingkan dengan kelompok lain.

2.3.3. Pembelajaran Secara Klasikal
Pembelajaran klasikal merupakan kemampuan guru yang utama. Hal ini disebabkan oleh pengajaran klasikal merupakan kegiatan mengajar yang tergolong efesien. Pembelajaran klasikal berarti melaksanakan dua kegiatan sekaligus, yaitu pengelolaan kelas dan pengelolaan pembelajaran.
Pengelolaan kelas adalah penciptaan kondisi yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan belajar dengan baik. Dalam pengelolaan kelas dapat terjadi masalah yang bersumber dari kondisi tempat belajar misalnya ruang kotor, papan tulis atau meja kursi rusak. Dan siswa yang terlibat dalam belajar misalnya dari antar individu ataupun antar sekelompok siswa.
Pengelolaan pembelajaran bertujuan mencapai tujuan belajar. Peran guru dalam pembelajaran individu dan pembelajaran kelompok berlaku juga dalam pembelajaran klasikal. Tekanan utama pembelajaran adalah seluruh anggota kelas.


























BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Pendekatan pembelajaran dapat berarti titik tolak atau sudut pandang terhadap proses pembelajaran atau merupakan gambaran pola umum perbuatan guru dan peserta didik di dalam perwujudan kegiatan pembelajaran, yang berusaha meningkatkan kemampuan-kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa dalam pengolahan pesan sehingga tercapai sasaran belajar.
Dalam kegiatan belajar mengajar yang berlangsung telah terjadi interaksi yang bertujuan. Guru dan anak didiklah yang menggerakkannya. Ketika kegiatan belajar mengajar itu berproses, guru harus dengan ikhlas dalam bersikap dan berbuat, serta mau memahami anak didiknya dengan segala konsekuensinya. Hal ini akan mempengaruhi pendekatan yang guru ambil dalam pengajaran. Pendekatan yang tepat maka akan berlangsung belajar mengajar yang menyenangkan.
Simulasi sangat ampuh dan efektif karena mereka meningkatkan kewaspadaan siswa dan keterampilan memahami, meningkatkan integrasi keterampilan siswa dalam berbagai konteks kinerja, menyesuaikan diri dengan berbagai tingkat pembelajaran melalui cakupan kinerja dinamis, dan membantu pelajar melihat pola dari waktu ke waktu dalam sistem dinamis

3.2. Saran

Kami selaku penyusun menyarankan agar para calon guru maupun guru dapat memilih pendekatan pembelajaran yang sesuai, karena setiap pendekatan mempunyai kelemahan dan keunggulan masing-masing.

Kamis, 15 Juni 2017

Integrasi Nasional dan Karakter Bangsa

Strategi dan Implementasi Pendidikan Karakter dalam Keluarga
Posted By: Redaksion: June 4, 2015 3:10 pmIn: UnigresNo Comments
MANDIRI NEWS | Pendidikan karakter pada anak dalam keluarga berhasil dengan baik, selain melalui pola asuh yang tepat dan keteladanan, maka orang tua juga harus memiliki strategi pendidikan karakter yang tepat pula.
A. Cara-cara
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan para orang tua yaitu :
  1. Sering seringlah mengungkapkan cinta dan kasih sayang. Misalnya dengan pelukan lembut, motivasi, persetujuan, dan senyuman untuk anak anda.
  2. Jadilah pendengar yang baik, ketika anak mengungkapkan apapun kepada Anda. Ciptakan suasana yang memungkinkan anak berbicara dengan Anda ketika mereka mengalami masalah baik besar maupun kecil.
  3. Ciptakan suasana yang membuat anak merasa aman.Ini bisa dilakukan dengan menghormati privasi anak. Usahakan menghindari pertengkaran didepan anak Anda. Tunjukkan pada mereka bahwa mereka bisa mendiskusikan perbedaan dari masing-masing secara baik.
  4. Ajari anak aturan dan batasan. Misalnya batas waktu tidur dan jam malam, sehingga mereka belajar bahwa mereka memiliki keterbatasan. Walau terkadang mereka tidak menyukainya naluri mereka tahu bahwa orang tuanya memperhatikan dan mengasihi.
  5. Berikan tanggung jawab dengan memberi anak pekerjaan atau tugas yang harus dilakukan, dan imbalannya , mereka berhak atas penghargaan tertentu. Namun bila tidak melaksanakan tanggung jawab, maka penghargaan itu dibatalkan.
  6. Ajarkan mereka mengenai benar dan salah.Jika seorang muslim, pastikan mereka tahu konsep konsep kebenaran sebagaimana yang tertuang dalam kitab suci Al Qur’an.
  7. Jangan membandingkan anak anda dengan orang lain, terutama dengan saudaranya sendiri. Mereka akan kecewa dan rendah diri, dan mereka akan merasa TIDAK pernah bisa cukup baik dihadapan Anda, ingat setiap anak bahkan setiap manusia adalah individu yang unik.
  8. Ajarkan anak Anda bahwa setiap orang adalah berbeda, dan mereka tidak harus seperti orang lain. Melainkan menjadi dirinya sendiri.dan jangan terobsesi untuk mewariskan kepribadian anda kepada diri anak anda.
  9. Ketika anak anda melakukan sesuatu yang bisa menimbulkan kebencian atau berbahaya, katakan padanya bahwa hal seperti itu tidak akan dapat diterima, dan sarankan alternatif lain. Hindari pernyataan yang bersifat mengumpat, atau menyumpahi.
Menurut Edy Waluyo (2007), pendidikan karakter terhadap anak hendaknya menjadikankan mereka terbiasa untuk berperilaku baik, sehingga ketika seorang anak tidak melakukan kebiasaan baik itu, yang bersangkutan merasa bersalah. Dengan demikian , kebiasaan baik sudah menjadi semacam instink, yang secara otomatis akan membuat seorang anak merasa kurang nyaman bila tidak melakukan kebiasaan baik itu.
B. Strategi Implementasi Pendidikan Karakter
Adapun Strategi Implementasi Pendidikan Karakter Yang Bisa dilakukan Antara lain Adalah :
  1. Ciptakan suasana penuh dengan kasih sayang , mau menerima anak sebagaimana adanya, dan menghargai potensi yang dimiliki mereka.
  2. Berikan pengertian betapa pentingnya ” cinta ” dalam melakukan sesuatu, dan tanamkan pula bahwa Melakukan sesuatu itu tidak semata mata karena prinsip timbal balik. Tekankan nilai nilai agama yang menjunjung tinggi cinta dan pengorbanan.
  3. Ajak anak merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain . Bantu anak kita berbuat sesuai dengan harapan harapan kita, tidak semata karena ingin dapat pujian atau menghindari hukuman.
  4. Ingatkan pentingnya rasa sayang antar anggota keluarga dan perluas rasa sayang, yakni terhadap sesama. Berikan contoh perilaku dalam hal menolong dan peduli pada orang lain.
  5. Gunakan metode pembiasaan yaitu mengajak anak melakukan kegiatan sehari hari sesuai dengan yang kita programkan, sehingga kegiatan tersebut melekat pada diri anak menjadi kebiasaan hidup mereka se hari hari. Misalnya kebiasaan menolong teman yang kesusahan, menjenguk orang sakit, dan lain sebagainya.
  6. Kurangi jumlah mata pelajaran berbasis kognitif, dalam kurikulum kurikulum pendidikan intelektual (kognitif), yang berlebihan justru akan memicu pada ketidakseimbangan serta menghambat aspek aspek perkembangan anak.
C. Strategi Dalam Pendidikan Keluarga Untuk Membentuk Karakter Anak
1. Strategi Keteladanan orang dewasa di rumah tangga
Berbagai sifat terpuji seperti jujur, amanah, terpercaya,tanggung jawab, penghormatan, integritas, empaty dan sebagainya, harus terus dicontohkan dalam kehidupan sehari hari bersama anak anak.
2. Strategi Pembiasaan.
Pembiasaan berperilaku yang baik, dan adab sopan santun adalah bagian terpenting dalam pendidikan keluarga, oleh sebab itusetiap anggota keluarga terutama yang sudah dewasa harus harus sudah terbiasa dengan dengan perilakuyang positif.
3. Strategi Pengajaran.
Memberikan petunjuk kepada anak mengenai sesuatu yang baik, yang harus dihayati dan diamalkan dalam perilaku sehari hari , serta menunjukkan sesuatu yang tidak baik, atau tidak benar yang harus di jauhi. Informasi dan nasehat perlu diberikan secara terus menerus kepada anak.
D. Hambatan Implementasi Pendidikan Karakter dalam Keluarga.
Era globalisasi yang sangat pesat ini, membawa tantangan yang serius bagi dunia pendidikan, tak terkecuali pendidikan anak di dalam keluarga. Globalisasi menyebabkan liberalism moral, pemikiran dan perilaku yang merontokkan norma dan etika yang selama ini dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia. Desakralisasi moral menjadi realitas yang tidak bisa dihindari, Konservatisme dan liberalisme dijadikan musuh besar oleh globalisasi. Hal ini yang harus menjadi tanggung jawab Semua komponen bangsa untuk mengembalikan nilai nilai luhur yang relevan dengan dunia modern yang serba instan, liberal, dan sekuler.
Menurut Arvan Pradiansyah, di abad 21 ini ada empat hal yang tidak berubah dan perlu kita cermati. Yaitu perubahan itu sendiri, Hukum Alam dan hukum win win solution ( sama sama menang), Pilihan ( strategi, taktik,proses bisnis), dan Karakter.
Adapun Dampak Hambatan Implementasipendidikan karakter di Keluarga yaitu :
  1. Pengaruh Negatif Televisi.
Televisi sudah menjadi kebutuhan utama keluarga, anak anak  menjadikan   televise sebagai menu utama kegiatan sehari-hari, apalagi ketika libur sekolah. Akhirnya pengaruh televisi menghujam kuat pada diri anak.
Pihak program televise yang bersifat edukatif jumlahnya sangat terbatas dan Kebanyakan yang ditampilkan adalah program rekreatif dan refreshing, yang cenderung menampilkan pronografi  dan kekerasan. Hal ini tentu membahayakan bagi perkembangan katrakter anak anak, sebab secara pshikologis mereka masih dalam tahap imitasi, meniru sesuatu yang dilihat, direkam dan di dengar. Sehingga dengan mudah mereka menjadikan tontonan sebagai tuntunan.
Anak anak lebih peraya pada televisi dari pada guru,  oang tua dan masyarakat. Ketika jumlah anak semacam ini semakin banyak, mereka akan menciptakan lingkungan pergaulan yang kondusif bagi tumbuhnya budaya pop yang ditampilkan di televisi.  Ucapan, cara berpakaian, dan sikap yang ditunjukkan akan berbeda dengan akar budaya lokal, yang selama ini menjadi panutan masyarakat.
  1. Pergaulan Bebas.
Pergaulan remaja sekarang ini sangat memprihatinkan, mereka berkumpul  membentuk grup grup yang sehati dan sepenadpat dengan dirinya, untuk beraktualisasi dan menemukan satu hati dalam berekspresi.  Dalam ilmu psikhologi sosial, ketika seseorang berkumpul bersama dengan yang lain, ekspresi yang ditampilkan tidak mesti mencerminkan apa yang ada di batinnya. Kadang karena ikut arus atau kebersamaan saja.
Perilaku kelompok sangat cepat menyebar, dengan gerakan reflek.  Mereka merspon  stimulus dengan cepat dan massif, tanpa mempertimbangkan resiko yang akan terjadi. Perilaku sosial yang sulit di cegah membutuhkan kekuatan otoritatif , seperti aparat kepolisisan dan sejenisnya.
Disinilah kaum agamawan dan aktivis berperan untuk merancang program besar dalam menciptakan lingkungan sosial , khususnya pergaulan yang baik, yang bernilai pengetahuan, moral, spiritual, dan berdimensi sosial budaya yang bermanfaat bagi perkembangan katrakter , kepribadian, dan cita cita .
Internet saat ini menjadi kebutuhan utama para   para kaum professional, tidak terkecuali para pelajar dan anak anak kita memanfaatkan teknologi canggih tersebut. Dengan internet seseorang bisa mengakses seluruh informasi yang ada di dunia, dengan menguasai bahasa asing seseorang akan melihat dunia tanpa batas. Namun setiap kemajuan atau tehnologi terdapat dua sisi, disamping kita mengembil manfaat nya , kita juga akan merasakan dampak buruk nya. Khususnya anak anak kita yang masih labil.  Karena lewat internet anak anak bisa mengakses tidak hanya pengetahuan yang baik dan berguna,  tapi juga pornografi, kekerasan, paham sex bebas, dan  contoh contoh buruk dari tingka laku dan sikap yang tidak menjunjung tinggi etika dan kesopanan menurut adat ketimuran, yang selama ini kita anut.  Untuk melarang anak anak tidak memakai internet di jaman ini tidaklah mungkin. Karena kehidupan sosial mereka aka terganggu, dan tugas tugas sekolah atau kuliah kebanyakan juga lewat internet.
  1. Kafe dan Tempat Karaoke
Menjamurnya Kafe dan tempat karaoke di dunia modern seperti sekarang ini adalah  sudah biasa. Masalah nya di café  mereka tidak hanya menyediakan makanan dan minuman saja. Café didesain untuk tempat hiburan, dengan berbagai minuman keras, obat terlarang, music yang keras dan gadis gadis cantik yang menggoda. Sedangkan tempat karaoke, meskipun di beri lebel karaoke keluarga, kadang juga masih ada yang menyediakan barang barang haram dan gadis cantik menggoda. Kalau anak anak kita sering datang ke tempat tersebut, banyak kemungkinan mereka akan ikut teman nya minum atau memakai obat terlarang , meskipun di rumah sudah kita bekali pengetahuan tentang  bahayanya dua hal tersebut.
  1. Tempat Wisata
Tempat tempat wisata khususnya pantai, banyak menjadi  pilihan dalam melewatkan hari istirahat atau kepenatan kerja. Karena di pantai banyak turis berpakaian minim, kadang banyak juga gadis gadis kita sendiri, berpakaian minim bila ke pantai. Turis asing menajarkan pada generasi muda kita bahwa kebebasan seksual adalah kenikmatan dunia yang harus dirasakan. Mereka menjadikan kehidupan dunia seperti surga, dengan memenuhi Semua keinginan tanpa dibatasi oleh moral maupun agama.
E. Solusi Untuk Menghadapi Hambatan Implementasi Pendidikan  Karakter
  1. menyeleksi program pogram televisi yang baik, dan senantiasa mengawasi dan membimbing anak ketika menonton televisi. Peran orang tua sangat besar dalam hal ini, dan pemerintah harus membantu para orang tua dengan membuat dan menerapkan regulasi untuk menyeleksi tayangan televisi. Jika ada yang melanggar pemerintah harus member sangsi yang tegas, monitoring dari pemerintah, akan membantu menjaga generasi muda dari pengaruh yang jauh dari nilai luhur bangsa.
  2. Kaum agamawan, dan aktivis, pendidik dan tokoh masyarakat, berperan dalam merancang program besar dalam menciptakan lingkungan sosial, khususnya pergaulan yang bernilai pengetahuan, moral, spiritual, dan berdimensi sosial budaya yang berkarakter.
  3. Membekali mereka pemahaman holistik dan komprehensif untuk selektif dalam membuka situs dan menekan pemerintah untuk menutup situs porno yang merusak moralitas generasi masa depan bangsa. Demikian juga lembaga pendidikan, lembaga kursus, dan warnet,  yang menyediakan layanan Hot spot area, untuk menutup situs porno dan kekerasan, dan menyiapkan situs pendidikan dalam dan luar negeri yang bermanfaat  untuk menambah wawasan.
  4. Dalam rangka membendung dampak negatif café dan tempat karaoke, yang palng berperan dan ditunggu masyarakat adalah pemerintah. Pengawasan, pembinaan bahkan penutupan wewenang nya ada di pemerintah .
  5. Mendesain tempat wisata yang baik, yang tetap menghargai nilai etika dan moral yang bersumber pada agama dan budaya.
  6. Pendidikan karakter harus terus di galakkan di Keluarga, sekolah , masyarakat, dunia usaha, pemerintahan dan sebagainya, sambil menunggu tindakan pemerintah dalam menjaga moralitas dan jiwa anak

Kutipan : Dra. Hj Siti Bariroh. M, Pd Wakil Rektor 1 Unigres

Senin, 12 Juni 2017

Pemerintah Daerah

Dinamika Perubahan UU Pemerintahan Daerah
• • Label: Makalah
Pendahuluan
Sejak reformasi sampai saat ini, sudah beberapa kali terjadi perubahan UU Pemerintah Daerah. UU Pemerintahan Daerah yang pertama kali pasca reformasi adalah UU 22 Tahun 1999 sebagai pengganti UU nomor 5 Tahun 1974, kemudian diganti menjadi UU Nomor 32 tahun 2004, UU ini dilakukan perubahan menyangkut pelaksanaan pemilihan kepala daerah tetapi substansi kebijakan pengelolaan pemerintah daerah tidak mengalami perubahan. Terakhir adalah UU 23 tahun 2014 yang kemudian dilakukan perubahan dalam perpu No 2 Tahun 2014. Perpu tersebut hanya membatalkan 2 pasal yakni pasal yang mengatur pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Berbagai dinamika dalam  perubahan kebijakan pemerintahan daerah tersebut mulai dari arah sentralisitik sampai desentralistik. Sebagai negara kesatuan Indonesia  tentu menerapkan pembagian urusan pusat dan daerah dengan tetap mengacu pada pola desentralisasi, dekonsentrasi dan medebewind.  
Perubahan kebijakan hubungan pusat dan daerah di Indonesia pada dasarnya mengacu padaultra vires doctrine  (merinci satu persatu urusan pemerintahan yang diberikan kepada daerah) dan risidual power atau open end arrengement (konsep kekuasaan asli atau kekuasaan sisa)[1]Ultra vires doctrine lebih terasa pada pola sentralisitik sementararesidual power lebih mengarah ke desentralistik. Bahkan ada menganggap bahwa residual power sebenarnya merupakan pola hubungan pemerinta pusat dan daerah yang biasa diterapkan dalam konsep negara federal. Sementara dalam negara kesatuan kekuasaan sisa idealnya berada ditangan pusat.

Pola hubugan  pusat dan daerah sejak pemberlakuan UU Nomor 5 tahun 1974 sampai UU Nomor 23 Tahun 2014 mengalami dinamika perubahan. UU Nomor 5 tahun 1974 lebih tepat dikatakan sebagai pola ultra  vires doctrine karena kewenangan yang diberikan kepada daerah dirinci satu persatu. Sementara UU Nomor 22 Tahun 1999, UU 32 tahun 2004 dan UU 23 tahun 2014 kewenangan yang diberikan bersifat residual power atau open and arrengmet atau general competence[2] karena semua kewenangan diberikan kepada daerah kecuali  urusan yang ditangani oleh pemerintah pusat, yakni moneter dan fiskal nasional, pertahanam dan keamanan, urusan luar negeri, peradilan, dan agama

Selain itu sistem pembagian kekuasaan yang didesentralisasikan ke daerah di Indonesia juga menerapkan desentralisasi a simteris dan desentraisasi simetris[3]. Desentralisasi a simetris terasa dalam UU No 22 Tahun 1999, dimana ada pemberian otonomi khusus bagi beberapa daerah (Aceh, Jogya dan Papua). Sementara dalam UU No 5 tahun 1974 hanya desentralisasi simetris (biasa)

Perubahan Kebijakan dalam berbagai Perspektif
Perubahan kebijakan dalam  hubungan pusat dan daerah tidak bisa dilepaskan dari konteks, format dan ideologi politik penguasa. Ketika penguasa baru saja tampil dan menyusun kekuatan, maka dikembangkan kebijakan yang agak terbuka. Namun ketika kekuasaan sudah berhasil mengkonsolidasi diri, maka kebijakan bisa dirubah dengan tertutup, otoritarisme atau malah totaliterisme[4].

Hal ini sejalan yang dikemukakan Stefaan Walgrave bawha perubahan kebijakan menjadi masalah agenda-setting,  kondisi penting bagi perubahan kebijakan adalah masalah perhatian politik[5]. Perubahan UU pemerintahan daerah tidak bisa dilepaskan agenda reformasi pasca pemerintahan Soeharto. Demi tuntutan masyarakat serta kondisi masing-masing`daerah, maka kemudian pemerintah melakukan perubahan kebijakan pengelolaan hubungan pusat dan daerah yang melahirkan UU nomor 22 tahun 1999 yang berlaku efektif di tahun 2001. Semangat perubahan tersebut lebih kepada keinginan memberi kewenangan yang lebih luas kepada daerah karena kebijakan UU sebelumnya yang sangat sentralisitik dianggap gagal dan  cenderung melahirkan “riak-riak” di daerah untuk melepaskan diri dari negara kesatuan Republik Indonesi (NKRI).    

Selain persoalan agenda setting  seperti dikemukan diatas, Geoffry Duedly dan Jeremy Ricadson dalam melihat perubahan kebijakan di Inggris antara tahun 1945-1999  melihat lebih lengkap menguraikan variabel perubahan kebijakan dalam sebuah  negara.  Bahwa ada empat variabel utama dalam perubahan kebijakan yang dikenal dengan konsep 4 I, yakni: ide-ide, interests (kepentingan-kepentingan), institutions (lembaga-lembaga) dan individu-individu (individu-individu)[6]
Empat variabel ini dapat membantu melihat perubahan kebijakan pengaturan pemerintah daerah yang terjadi di Indonesia. Ide-ide untuk lebih memberikan kewenangan lebih luas muncul pasca tumbangnya rezim Soeharto yangg dianggap gagal membawa Indonesia lebih demokratis. Bahkan munculnya gerakan separatis seperti Papua Merdeka, Aceh Merdeka, Republik Maluku Serikat, akibat kekecewaan daerah terhadap pusat.  Varibel interest (kepentinga-kepentinga) juga terasa dalam perubahan kebijakan pengaturan pemerintah daerah. Adanya interest masing-masing daerah serta problem-problem kedaerahan yang dialami masing-masing provinsi membawa pola hubungan pusat dan daerah hampir terjadi ‘lost control’ dengan meneriakkan federalisme. Sementara institusions (lembaga-lembaga) khususnya pemerintahan dilakukan restrukturisasi agar bisa bekerja maksimal. khususindividu-individu khususnya elit mulai lebih banyak bersuara untuk mendesak agar pengelolaan pemerintahan daerah untuk ditinjau sebelum isu-isu federalisme tidak semakin luas diteriakkan di daerah.


Pokok Perubahan UU Pemerintahan Daerah
UU No 5 Tahun 1974
Perubahan kebijakan hubungan pusat dan daerah dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 lebih condong kearah sentralistik. Beberapa karateristik yang menonjol dari prinsip penyelenggaraan pemerintahan UU Nomor 5 Tahun 1974, yaitu:Pertama, Wilayah negara dibagi ke dalam Daerah besar dan kecil yang bersifat otonom atau administratif saja. Kedua, pemerintahan daerah diselenggarakan secara bertingkat, yaitu Daerah Tingkat I, Daerah tingkat II sebagai Daerah Otonom, dan kemudian wilayah administrative berupa provinsi, kabupaten/kotamadya, dan kecamatan. Ketiga, DPRD Tingkat I maupun Tingkat II dan kotamadya merupakan bagian dari Pemerintahan Daerah. Keempat, peranan Menteri Dalam Negeri dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dikatakan bersifat sangat eksesif atau berlebih-lebihan yang diwujudkan dengan melakukan pembinaan langsung terhadap daerah. Kelima, UU ini memberikan tempat yang sangat terhormat dan sangat kuat kepada Kepala Wilayah ketimbang kepada Kepala Daerah. Keenam, Keuangan Daerah sebagaimana umumnya dengan undangundang terdahulu, diatur secara umum saja. Daerah juga mendapat bantuan dari Pemerintahan Pusat berupa “Pemberian Pemerintah”, sebuah istilah yang menandakan kemurahan hati Pemerintahan di Jakarta. [9]
Meskipun harus diakui bahwa UU No.5/1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam praktek yang terjadi adalah sentralisasi yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena yang paling menonjol dari hubungan antara sistem Pemda dengan pembangunan adalah ketergantungan Pemda yang tinggi terhadap pemerintah pusat.

UU No 22 Tahun 1999
Menurut UU Nomor 22 Tahun 1999, daerah otonomi tidak menganut sistem bertingkat dan hanya mengenal 2 (dua) daerah otonomi, yaitu Provinsi dan Kabupaten/ kota yang dapat dirumuskan sebagai berikut (Marbun, 2010:102-103): Pertama, Wilayah Negara Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Provinsi, kabupaten, dan kota yang bersifat otonomi. Kedua, Daerah-daerah ini masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki (pasal 4 UU Nomor 22 Tahun 1999). Ketiga, Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai Daerah Administratif. Ada beberapa ciri khas yang menonjol dalam Undang-Undang ini (Syaukani, 2009:185-190), yaitu Pertama, Demokrasi dan Demokratisasi. Kedua, Mendekatkan Pemerintah Dengan Rakyat. Titik berat otonomi daerah difokuskan kepada Daerah Kabupatendan Kota, bukan kepada Daerah Propinsi. Ketiga, Sistem Otonomi Luas dan Nyata. Keempat, Tidak Menggunakan Sistem Otonomi Bertingkat. Dalam sistem ini, Pejabat Pemerintahan daerah yang lebih tinggi juga sekaligus merupakan atasan dari pejabat yang ada di daerah otonom yang lebih rendah. Kelima, No Mandate Without Funding. Penyelenggaraan tugas pemerintah di daerah harus dibiayai dari dana Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (Pasal 78 ayat 2), dan “Penyerahan atau pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur atau penyerahan kewenangan atau penugasan Pemerintahan Pusat kepada Bupati/Walikota diikuti dengan pembiayaannya” (Pasal 2 ayat {4} UU PK no. 25 tahunn 1999). UU Nomor 22 tahun 1999 mengandung prinsip yang sebaliknya, yaitu money follows funftion. Artinya Daerah diberi kewenangan yang seluas-luasnya dan dengan kewenangan itu maka Daerah akan menggunakannya untuk menggali sumber dana keuangan yang sebesar-besarnya sepanjang bersifat legal dan diterima oleh lapisan masyarakat. Keenam, Penguatan Rakyat Melalui DPRD.

Dari UU No 22 tahun 1999 terdapat kesan kuat bahwa pusat memberikan kewenangan pada daerah. Pada kondisi tersbut mungkin terbaca bahwa pusat mulai mengakomodasi tuntutan daerah. Pemberian kewenangan daerah dalam skema otonomi daerah, bisa dibaca sebagai konsekuensi dari menurun daya kemampuan pusat untuk mengendalikan daerah, sehingga tidak ada pilihan lain kecuali memberikan kewenangan bagi daerah untuk mengatur diri sendiri. Pada kontek lain munculnya berbagai konflik di daerah terdapat kesan bahwa pusat seakan-akan hendak memindahkan pesoalan dalam ke masing-masing wilayah

Perubahan pengelolaan pemerinah daerah juga dilihat dalam era pasca-desentralisasi.Perubahan tersebut terlihat secara signifikan dalam keberadaan DPRD. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,  DPRD diberi  peran dominan vis-à-vis kepala daerah  dipemerintahan daerah. Tujuan  utamanya adalah untuk membawa pemerintahan lokal yang demokratis di berbagai daerah melalui, antara lain, pemberdayaan DPRD sebagai wakilmasyarakat lokal dan sebagai lembaga yang memiliki wewenang untuk menahan kepaladaerah bertanggung jawab atas kinerja mereka[10].
Di deberapa daerah, terjadi penguatan terhadap fungsi DPRD bahkan terlihat terjadi legislatif heavey dimana kepala daerah “kewalahan” menghadapi DPRD, apalgi kalau kepala daerah berasal dari partai berbeda dengan partai mayoritas di DPRD. Bahkan seolah-olah terjadi devided government (pemerintahan terbelah) akibat kepala daerah tersandra dengan DPRD.

UU 32 tahun 2004
Antara UU 32 tahun 2004 dengan UU  No 22 tahunn 1999 sebenarnya tidak ada perbedaan prinsipal dalam kebijakan pengelolaan pemerintahann daerah. Dalam perspektif desentralisasi masih menerapkan prinsip residual power atau open arrangement karena pusat masih mengurus 6 urusan yang bersifat konkruent.  Pemerintah Daerah berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan  tugas pembantuan. Otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.

UU No.32 tahun 2004 mengatur hal-hal tentang; pembentukan daerah dan kawasan khusus, pembagian urusan pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan, kepegawaian daerah, perda dan peraturan kepala daerah, perencanaan pembangunan daerah, keuangan daerah, kerja sama dan penyelesaian perselisihan, kawasan perkotaan, desa, pembinaan dan pengawasan, pertimbangan dalamkebijakan otonomi daerah.

Menurut UU No.32 tahun 2004 ini, negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Sehubungan dengan daerah yang bersifat khusus dan istimewa ini, kita mengenal adanya beberapa bentuk pemerintahan yang lain, seperti DKI Jakarta, DI Aceh, DI Yogyakarta, dan provinsi-provinsi di Papua.
Bagi daerah-daerah  ini secara prinsip tetap diberlakukan sama dengan daerah-daerah lain. Hanya saja dengan pertimbangan tertentu, kepada daerah-daerah tersebut, dapat diberikan wewenang khusus yang diatur dengan undang-undang. Jadi, bagi daerah  yang bersifat khusus dan istimewa, secara umum berlaku UU No.32 tahun 2004 dan dapat juga diatur dengan UU tersendiri.

Ada perubahan yang cukup signifikan untuk mewujudkan kedudukan sebagai mitra sejajar antara kepala derah dan DPRD yaitu  kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dan DPRD hanya berwenang meminta laporan keterangan pertanggung jawaban dari kepala daerah.

Di daerah perkotaan, bentuk pemerintahan terendah disebut “kelurahan”. Desa yang ada di Kabupaten/Kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa, bersama Badan Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengan perda. Desa menjadi kelurahan tidak seketika berubah dengan adanya pembentukan kota, begitu pula desa yang berada di perkotaan dalam pemerintahan kabupaten.

UU No 23 Tahun 2014
Pada UU 23 tahun 2014, masih menerapakan pola residual power atau open arrangement, bahkan urusan pemerintah dibagi menjadi urusan pemerintah absolut, urusan pemerintah konkruen dan urusan pemerintahan umum (pasal 9) urusan pemerintah absolut adalah urusan pemerintah yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat (politik luar negeri, pertahanan,  keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, dan agama) urusan pemerintah konkruen adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.  Urusan pemerintahan umum adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Selain itu dalam UU 23 Tahun 2014 DPRD masih sama kedudukannya dengan UU No 23 Tahun 2004 yakni sebagai bagian dari penyelenggara pemerintahan daerah

Selain persoalan filosofis dalam urusan pemerintah pusat dan daerah seperti diatas diatur dalam UU 23 Tahun 2014 juga ada perbedaan yuridis. Perbedaan yuridis tertuang dalam bentuk pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang tidak diatur dalam UU sebelumnya.  Perbedaan secara yuridis, sangat terlihat dengan tidak adanya pasal-pasal yang mengatur tentang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Perihal pemilihan daerah telah diatur dalam UU no 22 tahun 2014 yang sudah dibatalkan dengan Perpu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dipisahkannya UU Pemda dengan UU Pilkada dimaksudkan agar kedua UU tersebut dapat berjalan secara maksimal sesuai dengan isu sentralnya masing-masing. Selain itu, dalam pemisahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pilkada dimaksudkan untuk mempertegas posisi dan perbedaan Gubernur dan Walikota/Bupati.

Hal ini dikarenakan Gubernur yang dipilih melalui mekanisme pemilihan langsung. Namun, secara sepihak dikooptasi dengan menempatkan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Dalam perspektif akademis posisi Gubernur dapat dikategorikan sebagai “unit antara”. Ciri khas dari “unit antara” dalam penyelenggaraan pemerintahannya bersinggungan dengan kegiatan dekonsentrasi daripada desentralisasi. Dengan demikian, Gubernur yang dipilih langsung oleh rakyat, kewewenangannya “terkebiri” karena status gandanya yang juga sebagai wakil pemerintah pusat. Berbeda dengan Walikota dan Bupati yang sama-sama dipilih oleh rakyat tapi statusnya sebagai daerah otonom yang mengedepankan prinsip atau azas desentralisasi. Disinilah urgensi pemisahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pemilihan pilkada mejadi dua UU yang berbeda.


Mengapa Berubah
Setiap negara mengalami dinamika dalam perubahan kebijakan, dan tentunya faktor perubahan berbeda antara satu negara dengan negara lain. Namun tidak ada salahnya dalam melihat dinamika perubahan pemerintaha daerah kita mengacu pada dinamika perubahan kebijakan pada beberapa pendapat yang telah melakukan kajian dan analisis terhadap suatu negara dalam melihat dinamika perubahan kebijakannya.
Olehnya untuk melihat dinamika perubahan pengelolaan pemerintah daerah di Indonesia, seperti pendapat Hall sebagaimana di kutif oleh Geoffry Duedly dan Jeremy Ricadson bahwa perubahan orde ketiga mungkin unsur-unsur mencerminkan suatu proses yang berbeda, yang ditandai oleh perubahan-perubahan radikal dalam lingkup ketentuan-ketentuan wacana kebijakan yang berkaitan dengan pergeseran paradigma. Jika perubahan-perubahan ode pertama dan kedua mempertahan kan kontinuitas-kontinuitas luas yang lazimnya ditemukan dalam pola-pola kebijakan, maka perubahan ‘orde ketiga’ seringkali merupakan suatu proses yang lebih disjunctive yang berkaitan dengan diskontinuitas-diskontinuitas berkala dalam kebijakan. Masih mengutip dari Hall bahwa implikasi dari analisis ini yaitu perubahan-perubahan orde pertama dan orde kedua dalam kebijakan tidak secara otomatis mendatangkan perubahan- perubahan orde ketiga. Degan perkataan lain, tidak boleh terperangkap anggapan bahwa pergeseran paradigmatik melibatkan hanya suatu versi yang lebih intens tentang pengambilan kebijakan normal yang didominasi oleh komunitas-komunitas dan jaringan-jaringan kebijakan.
Perubahan-perubahan kebijakan ‘orde ketiga’ mungkin akan mencakup lebih banyak dinamika tiga-dimensi dan spatial, yang melibatkan sejangkauan variabel-variabel. Dinamika ini bisa kompleks, namun unsur-unsur tertentu, dan antar-hubungan antara mereka, terlihat krusial.  Variabel-variabel penentu utama dari perubahan kebijakan ‘orde ketiga’, yakni: ide-ide, interests (kepentingan-kepentingan), institutions (lembaga-lembaga) dan individu-individu (individu-individu)[11]
Empat I ini kalau melihat dalam perubahan UU Pemerintahan daerah dapat kita lihat dalam aspek Ide-ide Aspek ideologi, perubahan UU 5 tahun 1974 menjadi UU Nomor 22 tahun 1999 disebabakan perubahan paradigma pengelolaan hubungan pusat dan daerah. Perubahan tersebut adalah perubahan arah sentralisitik ke arah desentralisitik. Sementara UU 32 Tahunn 2004 dan UU 22 Tahun 2014 menerapkan pola ultra vire doctrine atauresidual power hal ini terlihat betapa banykanya urusan yang diberikan kepada daerah.    

Selain aspek ide-ide, dinamika perubahan kebijakan pemerintah daerah juga dipengaruhi aspek institusi. Institusi khususnya lembaga-lembaga negara dilakukann restrukturisasi di pemerintah daerah agar bisa melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal.
Namun yang paling mejadi perhatian adalah soal insterest, perubahan kebijakan pemerintah daerah  adalah aspek kepentingan elit dan kepentingan daerah. Elit khususnya intelektual kampus menganggap bahwa untuk mencapai tujuan negara negara kesatuan Republik Indonesia harus dikelolah dengan memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengurus dan mengelola daerahnya sesuai dengan potensi dan kemampuan daerah melalui pemberian otonomi secara luas dan bertanggung jawab.

Selain itu aspek lain dalam dinamika perubahan kebijakan adalah individu, dengan reformasi yang terjadi dan perubahan lima paket UU politik yang ada di Indonesia turut mempengaruhi perubahan prilaku (behavioralis) masyarakat Indonesia. Perubahan lima paket UU politik juga semakin meningkatkan tingkat pendidikan politik warga negara, sehingga kesadaran dan partisipasi politk warga negara terhadap pengelolaan negara juga semakin meningkat.

Akan tetapi, ada satu unsur kunci lebih lanjut dalam menentukan dinamika perubahan kebijakan ‘orde ketiga’ — yaitu tentang waktu. Meskipun ada pengaruh pervasifnya, namun waktu seringkali dilupakan sebagai variabel vital, dan namun dalam studi longitudinal hal pentingnya menjadi jelas[12]. Perubahan pemerintahan daerah di Indonesia kalau mengacu dimensi waktu, sebenarnya relatif tidak panjang, apalagi kalau melihat perubahan pemerintahan daerah pasca reformasi, hanya kurung satu dasawarsa perubahan pengelolaan pemerintahan daerah mengalami berbagai perubahan.
Sementara Peter John melihat bahwa pengaruh institusional, pilihan rasional, jaringan,pendekatan sosio-ekonomi dan ideasional bahwa teori evolusi mungkin bergunamengungkap proses mikro-tingkat di tempat kerja, khususnya karena beberapa tigakerangka mengacu pada model dinamis dan metode, apa yang dikemukakan oleh Peter John juga terlihat dalam perubahan kebijakan pemerintahan daerah di Indonesia, bahwa pilihn rasional akan pemeberian urusan pemerintahan secara residual power atau open arrangement merupakan pilihan rasional yang diambil oleh negara khususnya pemerintah pusat dalam memberikan otonomi secara luas dan bertanggung jawab kepada daerah baik UU Nomor 22 Tahun 1999 maupun UU 32 Tahun 2004 dan UU 23 Tahun 2014.
Pemikiran Stefaan Walgrave tentang perubahan kebijakan juga dapt kita lihat dalam perubahan pemerintahan daerah, Stefaan mengungkapkan bahwa perubahan kebijakan menjadi masalah agenda-setting,  kondisi penting bagi perubahan kebijakan adalah masalah perhatian politik. Perubahan UU pemerintahan daerah tidak bisa dilepaskan agenda reformasi pasca pemerintahan Soeharto. Demi tuntutan masyarakat serta kondisi masing-masing`daerah, maka kemudian pemerintah melakukan perubahan kebijakan pengelolaan hubungan pusat dan daerah yang melahirkan UU nomor 22 tahun 1999 yang berlaku efektif di tahun 2001. Semangat perubahan tersebut lebih kepada keinginan memberi kewenangan yang lebih luas kepada daerah karena kebijakan UU sebelumnya yang sangat sentralisitik dianggap gagal dan  cenderung melahirkan “riak-riak” di daerah untuk melepaskan diri dari negara kesatuan Republik Indonesi (NKRI).    

Kesimpulan
Dinamika perubahan kebijakan pemerintahan daerah di Indoensia pasca reforrmasi mengalami dari UU 5 tahun 1975  menjadi UU 22 tahun 1999 dan UU 32 tahun 2004 dan UU 23 tahun 2014 dari aspek yuridis dan filosofis mengalami pergeseran dari ultra vires doctrine (merinci satu persatu urusan yang diserahkan ke daerah) menjadi open and arrangement atau residual power (konsep kekuasaan asli atau kekuasaan sisa).
Faktor perubahan UU pemerintahan daerah relevan dengan konsep yang dikemukakan oleh  Geoffry Duedly dan Jeremy Ricadson bahwa Four I (yakni  ide-ide, interests (kepentingan-kepentingan), institutions (lembaga-lembaga) dan individu-individu (individu-individu) terjadi dalam pemerintahan daerah di Indonesia
Selain itu Peter John juga melihat bahwa pilihan rasional juga menjadi bagian dalam perubahan kebijakan pemerintah daerah khususnya pemerintah pusat dalam memberikan otonomi secara luas dan bertanggung jawab kepada daerah baik UU Nomor 22 Tahun 1999 maupun UU 32 Tahun 2004 dan UU 23 Tahun 2014.
Stefaan Walgrave  yang melihat bahwa bahwa perubahan kebijakan menjadi masalah agenda-setting,  kondisi penting bagi perubahan kebijakan adalah masalah perhatian politik. Perubahan UU pemerintahan daerah tidak bisa dilepaskan agenda setting reformasi pasca pemerintahan Soeharto. Demi tuntutan masyarakat serta kondisi masing-masing`daerah, maka kemudian pemerintah melakukan perubahan kebijakan pengelolaan hubungan pusat dan daerah yang melahirkan  berbagai perubahan UU Pemerintahan Daerah.

Hanif,  Teori dan Parktek Pemerintahan, Grafindo, Jogyakarta, 2003

DINAMIKA POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH DI ERA REFORMASI
Historia Politik Hukum Sistem Pemerintahan Daerah
Politik Hukum di Indonesia mengalami perubahan terus menerus dari masa ke masa sesuai dengan kehendak pemerintahan suatu negara. Politik Hukum pada masa pemerintahan Orde Lama tentu saja berbeda dengan Politik Hukum pada masa pemerintahan Orde Baru.
Politik Hukum pada masa pemerintahan Orde Lama direpresentasikan oleh kehendak pemerintahan yang berkuasa saat itu, yakni untuk membawa hukum yang cenderung diarahkan pada pengawalan politik, di mana politik pada saat itu dianggap sebagai panglima. Artinya, politik dalam negara Indonesia ketika itu kedudukannya diletakkan di atas segala-galanya, melebihi ekonomi maupun hukum.

Dengan demikian hukum pada saat itu tidak ubahnya hanya sekadar sebagai alat pembenar dari aktivitas politik negara. Pemerintahan Orde Baru memiliki kecenderungan kuat ke arah Liberalisasi dan Kapitalisasi Sistem Ekonomi Indonesia. Titik berat arah Politik Hukum yang diambil pemerintah saat itu adalah Pembangunan Nasional. Pembangunan Nasional ini dimaknai sebagai pembentukan TRILOGI yakni Stabilitas Nasional yang mantab, Pertumbuhan Ekonomi yang tinggi, dan Pemerataan hasil-hasil Pembangunan. Oleh sebab itu maka konsekwensi logis dari Trilogi Pembangunan ini adalah Kekuasaan Orde Baru yang dengan efisien dan efektif digunakan mengendalikan kekuasaan politik di legislatif, kekuasaan birokrasi di eksekutif, maupun kekuasaan hukum di yudikatif.

Politik hukum mengenai pemerintahan daerah pun tidak terlepas dari kehendak pemerintah yang berkuasa. Sejarah panjang politik hukum pemerintahan daerah tidak terlepas dari konfigurasi politik yang berkembang pada pemerintahan yang berkuasa. Sejarah penyelenggaraan pemerintah daerah dapat diklasifikasikan dalam beberapa periode, sebagai berikut :

1.         Periode Perjuangan Kemerdekaan (1945-1949);
2.         Pasca Kemerdekaan (1950-1959);
3.         Demokrasi Terpimpin (1959-1965);
4.         Orde Baru (1965-1998);
5.         Pasca Orde Baru atau Era Reformasi (1998-sekarang).
Problematika dan Tantangan[1]
Pada era reformasi atau jatuhnya orde baru terjadi banyak perubahan yang fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal itu terjadi karena adanya amandemen konstitusi Indonesia, yaitu Amandemen UUD 1945. Perubahan tersebut membawa pengaruh yang besar pula dalam politik hukum pemerintahan daerah. Berbagai eksperimen pun dilakukan untuk menemukan formula yang sesuai dengan Negara kesatuan Republik Indonesia. Bahkan isu federalisme[2] pun sempat mencuat dalam perbincangan dalam taraf nasional. Atas dasar tersebut, maka mencuat satu pertanyaan besar. Bagaimana politik hukum pemerintahan daerah yang dicanangkan oleh pemerintah, dalam dimensi reformasi seperti saat ini, dimana tuntutan terhadap globalisasi tidak dapat dihindari? Oleh karena itu merumuskan dua nilai kepentingan (global – bangsa) menjadi suatu keharusan.

Politik Hukum dan Format Otonomi Daerah
Menurut Mahfud M.D politik hukum diartikan sebagai “legal policy” atau arah hukum yang akan diberlakukan oleh Negara untuk mencapai tujuan Negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan pergantian hukum lama. Sehingga politik hukum otonomi daerah dapat diartikan sebagai “legal policy” atau arah hukum yang akan diberlakukan Negara untuk mencapai tujuan Negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama tentang otonomi daerah.

Arah hukum dalam pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama tidak terlepas dari konsep konstitusi, yaitu UUD 1945. Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa Indonesia pada kurun waktu 1999-2002 mengalami perubahan/amandemen konstitusi. Hal ini tentunya merubah beberapa konsep hukum tertentu tentang otonomi daerah.

Kebijakan otonomi daerah muncul tidak hanya atas kehendak dari pemerintah pusat, tetapi juga terbentuk dan terlaksana atas kehendak masyarakat daerah itu sendiri. Dalam satu negara kesatuan, negara adalah tunggal dan tidak dibagi kedaulatannya. Oleh karena itu, luas dan besarnya kekuasaan daerah otonom dalam negara kesatuan yang terdesentralisasi, tidak akan pernah memiliki kekuasaan dalam membentuk konstitusi sendiri yang akan berbeda dengan konstitusi negara induknya. Hal inilah yang membedakan sistem Negara kesatuan dan Negara federal. Dimana dalam sistem federalistik, kedaulatan diperoleh dari unit-unit politik yang terpisah-pisah dan kemudian sepakat membentuk sebuah pemerintahan bersama. 

Dilihat dari pemahaman kesejarahan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, daerah memberikan dukungan yang sukarela dan penuh pada pergerakan kemerdekaan nasional. Oleh karena itu, pemerintah tidak dapat mengabaikan sejarah pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam memaknai otonomi daerah. Kebijakan otonomi daerah merupakan pengakuan pemerintah terhadap daerah berupa hak, identitas lokal, budaya, entitas politik, dan sumber daya ekonomi. Pengakuan ini menjadi dasar pembagian kekuasaan dan/atau kekayaan secara seimbang dan adil antara pusat dan daerah untuk tetap terjaganya integritas negara kesatuan dengan baik.

Argumentasi Urgensi Otonomi Daerah
Ada tiga argumentasi mendasar yang melandasi asumsi otonomi daerah memperkuat dimensi kebersamaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu :
1.         Otonomi daerah merupakan kebijakan dan pilihan strategis dalam rangka memelihara kebersamaan nasional dimana hakikat khas daerah tetap dipertahankan dengan memberikan kewenangan yang proporsional dalam mengurus rumah tangga daerah itu sendiri. Pemerintah pusat dalam hal ini memberikan jaminan kewenangan tersebut dengan tetap membimbing daerah pada koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2.         Melalui otonomi daerah pemerintah menguatkan sentra ekonomi kepada daerah dengan memberikan kesempatan untuk mengurus dan mengelola potensi ekonominya sendiri secara proporsional. Apabila potensi ekonomi tersebut menyebar secara merata dan berkelanjutan, kesatuan ekonomi nasional akan memiliki fundamental yang sangat kuat;
3.         Otonomi daerah akan mendorong pemantapan demokrasi politik di daerah dengan landasan desentralisasi yang dijalankan secara konsisten dan proporsional.

Politik Hukum Otonomi Daerah di Era Reformasi (Jilid I)
Pada masa orde baru, visi dan konsep otonomi daerah lebih terfokus pada pembangunan ekonomi nasional yang menekankan stabilitas, integrasi dan pengendalian secara sentralistik melalui perencanaan yang terpusat. Sehingga konsep pemerintahan daerah menjadi sentralistik dimana daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengelola urusan rumah tangganya sendiri. Pada masa orde baru, otonomi daerah pada hakekatnya merupakan kewajiban daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tangung jawab. Ketergantungan daerah pada pemerintah pusat, yang disebabkan konsep tersebut diatas, membuat daerah menjadi tidak kreatif dalam menghadapi permasalahan yang timbul akibat krisis moneter tahun 1998. Untuk itu terjadi perubahan paradigma dalam UU Pemerintahan Daerah dari paradigma pembangunan ke paradigma pelayanan dan pemberdayaan dengan pola kemitraan yang desentralistik .

Pemerintah yang berkuasa pasca jatuhnya orde baru membentuk UU Pemerintah Daerah dengan visi dan konsep yang berbeda dengan pemerintah orde baru, yaitu dengan disahkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah. Menurut Ryass Rasyid, ada 3 (tiga) hal yang menjadi visi dalam UU No 22 Tahun 1999 tersebut, yaitu:

1. Membebaskan pemerintah pusat dari beban mengurus soal-soal domestik dan menyerahkannya kepada pemerintah lokal agar pemerintah lokal secara bertahap mampu memberdayakan dirinya untuk mengurus urusan domestiknya.
2.       Pemerintah pusat bisa berkonsentrasi dalam masalah makro nasional.
3.       Daerah bisa lebih berdaya dan kreatif

Visi tersebut kemudian dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksi yang utama sebagai berikut :
1.               Di Bidang Politik. DIkarenakan otonomi merupakan buah dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, maka harus dibuka kemungkinan adanya peluang untuk lahirnya kepala daerah yang dipilih secara demokratis, penyelenggaraan pemerintahan daerah yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas, terpeliharanya mekanisme pengambilan keputusan yang bertanggung jawab, adanya transparansi kebijakan, pembangunan struktur pemerintahan yang sesuia dengan kebutuhan daerah, pembangunan sistem dan pola karier politik dan administrasi yang kompetitif, serta pengembangan sistem manajemen pemerintahan yang efektif.
2.      Di Bidang Ekonomi. Untuk menjamin kelancaran pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah sekaligus memberi kesempatan bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan kebijakan regional dan local untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerah.
3.            Di Bidang Sosial dan Budaya. Untuk membangun harmoni sosial sekaligus memelihara nilai-nilai local yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan di sekitarnya.
Dalam Penjelasan UU No. 22 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah, yaitu:
1.         Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keaneka ragaman Daerah;
2.         Pelaksanaan otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab;
3.         Pelaksanaan otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan daerah Kota, sedang daerah Provinsi merupakan otonomi yang terbatas;
4.         Pelaksanaan otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta Antar Daerah;
5.         Pelaksanaan otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonomi, dan karenanya dalam Daereh Kabupaten dan Daerah Kota tidak lagi ada Wilayah Administrasi. Demikian pula dikawasan-kawasan yang khusus yang dibina oleh Pemerintah (Pusat) atau pihak lain, seperti badan otoritas, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan, baru kawasan pariwisata, dan semacamnya berlaku ketentuan Peraturan Daerah Otonomi;
6.         Pelaksanaan Otonomi daerah harus lebih meningkatkan peran dan fungsi badan legisfatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
7.         Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Provinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah (Pusat);
8.         Pelaksanaan asas tugas pembantuan (medebewing, peny) dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah (Pusat) kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah (Pusat) kepada Desa, yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertangungjawabkan kepada yang menugaskannya.

Politik Hukum Otonomi Daerah di Era Reformasi (Jilid II)
Pada prakteknya, UU No.22 Tahun 1999 mengalami berbagai permasalahan, diantaranya kekuasaan legislatif yang semakin kuat (legislative heavy). Hal ini sangat bertolak belakang dengan pelaksanaan yang terjadi pada masa orde baru, dimana pada masa itu kekuasaan eksekutif yang sangat kuat (eksekutive heavy). Posisi DPRD dikatakan kuat karena lembaga ini memiliki kewenangan yang sangat besar dan kuat. DPRD berwenang memilih kepala daerah, mengawasi, meminta laporan pertanggung jawaban, bahkan dapat menjatuhkan/menurunkan jabatan kepala daerah. Dengan posisi dan kewenangan tersebut, praktek KKN di lembaga DPRD semakin subur melalui politik uang dalam bentuk pembelian suara anggota-anggota DPRD, pemerasan terhadap kepala daerah dengan menjadikan laporan pertanggung jawaban tahunan sebagai alatnya, serta adanya kolusi antara Pemda dan angota DPRD dalam penanganan proyek-proyek.

Pada tahun 2000, terjadi perubahan/amandemen UUD 1945 termasuk perubahan Pasal 18 yang menjadi dasar pelaksanaan pemerintahan di daerah. Perubahan tersebut menghendaki pengaturan tentang pemerintahan daerah yang berbeda dengan pengaturan dalam UU No 22 Tahun 1999. Sehingga perubahan yang terjadi dalam Pasal 18 UUD 1945 tersebut mengakibatkan adanya keharusan penggantian hukum lama dengan hukum baru, yang kemudian terbentuklah UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Adapun isi perubahan UUD 1945 yang dituangkan dalam ketentuan-ketentuan dalam UU No. 32 tahun 2004 adalah sebagai berikut :

1.         Prinsip Otonomi, Pembagian Urusan, dan Hubungan Hierarkis
Prinsip otonomi dalam UU No. 32 tahun 2004 tidak mengalami banyak perubahan, yaitu prinsip otonomi seluas-luasnya dimana daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat yang ditetapkan dalam UU. Adapun urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat adalah urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama . Selain itu, dalam UU No.32 Tahun 2004 diatur kembali hubungan hierarkis antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota walaupun tidak secara eksplisit disebutkan secara tegas.
2.         Pemilihan Kepala Daerah
UU No.32 tahun 2004 menganut sistem pemilihan langsung yang memberi kesempatan luas kepada masyarakat didaerah untuk memilih sendiri Kepala Daerah dan Wakilnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 Amandemen yang menyatakan bahwa: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis”.
3.         Pertanggungjawaban Kepala Daerah
UU No 32 Tahun 2004 menggariskan bahwa Pemerintah Daerah tidak bertanggungjawab kepada DPRD, karena hubungan Pemerintah Daerah dan DPRD adalah hubungan kemitraan. Berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 120/1306/SJ tanggal 7 Juli 2005, Pemerintah Daerah hanya menyampaikan informasi yang bersifat laporan kepada DPRD, yaitu berupa Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) tentang pelaksanaan tugasnya dalam satu tahun terakhir atau laporan tentang akhir masa jabatan. Terhadap laporan tersebut DPRD tidak dapat menolak atau menerima LKPj tersebut, sehingga DPRD tidak dapat menjatuhkan Kepala Daerah .
Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah dilakukan kepada Pemerintah Pusat. Dalam hal ini, Gubernur menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, sedangkan Bupati/Walilkota menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur .
4.         Sistem Pengawasan
Ketentuan tentang pengawasan, yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004, diseimbangkan dengan pembinaan melalui pengawasan yang berupa penilaian atas produk-produk daerah dengan cara dan sampai waktu tertentu. Pembinaan pemerintah pusat terhadap daerah tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau bahkan merintangi pelaksanaan otonomi daerah. Namun pembinaan tersebut ditujukan agar tidak terjadinya disintegrasi nasional dan disharmonisasi hukum nasional.
5.         Keuangan Daerah
Ketentuan mengenai sumber keuangan daerah diatur dalam pasal 157 UU No.32 Tahun 2004, yaitu terdiri atas pendapatan asli daerah (PAD) dan dana perimbangan serta pendapatan lain yang sah. Sedangkan pendapatan asli daerah terdiri atas hasil pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipusatkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Selain itu daerah dapat melakukan pinjaman luar negeri melalui pemerintah pusat.
6.         Kepegawaian Daerah
Pasal 129 UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa pemerintah (pusat) melaksanakan pembinaan manajemen pegawai negeri sipil di daerah dalam satu penyelenggaraan manajemen pegawai sipil secara nasional. Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pada Jabatan Eselon II pada pemerintah provinsi ditetapkan oleh Gubernur, sedangkan Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pada jabatan eselon II pada pemerintah kabupaten/kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota setelah berkonsultasi kepada Gubernur .
7.         Pemberhentian Kepala Daerah
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 peluang DPRD untuk memberhentikan Kepala Daerah di dalam masa jabatannya agak dipersulit. DPRD hanya dapat mengajukan pendapat mengenai alasan pemberhentian Kepala Daerah karena melanggar sumpah/janji dan tidak melaksanakan kewajibannya kepada Mahkamah Agung, yang kemudian dari putusan Mahkamah Agung tersebut diusulkan kepada Presiden. Pendapat DPRD yang akan diajukan kepada MA tersebut harus melalui mekanisme rapat paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya tiga perempat dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota yang hadir. Pemberhentian Kepala Daerah hanya dapat dilakukan oleh Presiden tanpa atau dengan adanya usulan DPRD.

Politik Hukum Otonomi Daerah di Era Reformasi (Jilid III)
Pembenahan sektor otonomi daerah terus dilakukan. Merasa UU No. 32 Tahun 2004 belum dapat memuaskan aspirasi rakyat di daerah, maka pemerintah bersama DPR sedang merumuskan format paket rancangan UU Pemerintahan Daerah yang baru. Kelak, UU No. 32 Tahun 2004 tersebut akan dipecah menjadi 3 (tiga) undang-undang baru, yaitu: (i) UU tentang Pemerintah Daerah, (ii) UU tentang Pemilihan Kepala Daerah, dan (iii) UU tentang Desa.

Argumentasi muculnya isu ini adalah karena ada gejolak politik dari masyarakat bawah yang menghendaki agar pelaksanaan otonomi daerah tidak bersifat “dualisme” lagi. Selain itu juga pemilihan kepala daerah secara langsung seperti saat ini, dirasa sia-sia. Karena pemilihan secara demokratis hanya akan membuat masyarakat menjadi bodoh. Masyarakat Indonesia yang cenderung masih berada di bawah garis kemiskinan, ternyata belum siap untuk berkontribusi langsung dalam pemilihan kepala daerah. Oleh karenanya, pengembalian sistem pemilihan kepada DPRD menjadi wacana hangat saat ini.

Selain itu juga, usulan lain yang tertuang dalam RUU Pemilihan Kepala Daerah tersebut adalah peniadaan wakil bagi gubernur, bupati, dan walikota. Alasannya adalah karena UUD 1945 hanya menyebut gubernur, bupati, dan walikota dipilih secara demokratis, tanpa menyebut wakilnya. Namun, terhadap usulan ini sebagian anggota DPR belum bersepakat menyetujuinya karena menganggap posisi wakil adalah bagian dari representasi kemajemukan masyarakat di daerah. Argumentasinya adalah dimana paket gubernur dan wakilnya, atau bupati atau walikota dan wakilnya merupakan bagian dari akomodasi kemajemukan politik, golongan, atau kelompok dalam masyarakat. Peniadaan wakil kepada daerah tentu sedikit banyak dapat mengurani representasi kemajemukan itu sendiri. Sehingga dapat menciderai sisi demokrasi dan aspirasi dari masyarakat.

Kemudian, ada isu yang cukup menyita perhatian, yaitu adanya aspirasi dari warga desa di setiap daerah agar sesegera mungkin diundangkannya UU tentang Desa. Dimana dalam undang-undang tersebut diamanatkan bahwa ada persentase dana yang dialokasikan dari APBN untuk kemakmuran desa. Setidaknya ada 6 (enam) isu hangat yang dibahas dalam rancangan UU tentang Desa ini, yaitu perihal kedudukan desa, penataan desa, kewenangan desa, penyelenggaraan pemerintahan desa, keuangan desa, serta pembangunan desa dan kawasan pedesaan. Oleh karena itu, bila selama ini desa hanya dipandang sebagai struktur kecil dari sistem pemerintahan di republik ini dan cenderung diabaikan oleh pemerintah pusat, maka kini mulai menuntut haknya.

Dinamika yang terjadi semacam ini, tentua akan menciptkan konsep otonomi daerah yang ideal. Mengingat demografi Indonesia yang tidak memungkinkan untuk celah sentralisasi, maka otonomi daerah secara penuh menjadi solusi yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.

Konklusi
Penyelenggaraan pemerintahan di daerah mengalami berbagai eksperimen sistem. Hal tersebut dapat terlihat dari perubahan yang terjadi sepanjang sejarah UU tentang pemerintah daerah. Penyelenggaraan pemerintahan di daerah tidak terlepas dari konfigurasi politik yang berkuasa atau berpengaruh pada masa berlakunya UU tentang Pemerintahan Daerah tersebut.
Politik hukum otonomi daerah pada era reformasi ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah daerah yang kemudian dirubah dengan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Kedua UU tersebut pada dasarnya merupakan perubahan paradigma pembangunan nasional yang dikonsep oleh orde baru menjadi paradigma pelayanan dan pemberdayaan dengan pola kemitraan yang desentralistik. Pemerintah pusat memberikan kewenangan tertentu kepada daerah untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri dalam konsep Negara kesatuan Republik Indonesia. Asas penyelenggaraan pemerintah di daerah tidak lagi sentralistik melainkan desentralisasi.

M.D, Moh. Mahfud. 2006. Membangun Politik Hukum: Menegakkan Konstitusi. Jakarta: Pustraka LP3ES Indonesia.

HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH PADA DIMENSI KEWENANGAN ANTARA DPRD DENGAN KEPALA DAERAH *
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
 Salah satu persoalan yang mendapat perhatian serius setelah reformasi pada tahun 1998 adalah persoalan pemerintah daerah. Sejarah ketatanegaran Republik Indonesia menunjukkan bahwa sebelum UUD Negara Republik Indonesia 1945 diamandemen persoalan hubungan antara pusat dan daerah sangat tidak jelas. Hal lain yang dapat disimpulkan dari rumusan pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia 1945 dan penjelasannya adalah bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan dengan sistem desentralistik. Desentralisasi merupakan salah satu sendi susunan organisasi negara yang diterima dan disepakati oleh para pembentuk Negara Republik Indonesia.[1] Dengan demikian wajar  apabila GBHN menggariskan pengembangan hubungan yang serasi dan tepat antara pusat dan daerah sebagai salah satu sasaran pembangunan nasional di bidang pemerintahan.
Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki empat dimensi penting untuk dicermati, yaitu meliputi hubungan kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan. Pertama, pembagian kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan tersebut akan sangat mempengaruhi sejauhmana Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki wewenang untuk menyelenggarakan urusan-urusan Pemerintahan, karena wilayah kekuasaan Pemerintah Pusat meliputi Pemerintah Daerah, maka dalam hal ini yang menjadi obyek yang diurusi adalah sama, namun kewenangannya yang berbeda. Kedua, pembagian kewenangan ini membawa implikasi kepada hubungan keuangan, yang diatur dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Ketiga, implikasi terhadap hubungan kelembagaan antara Pusat dan Daerah mengharuskan kehati-hatian mengenai besaran kelembagaan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas yang menjadi urusan masing-masing. Keempat, hubungan pengawasan merupakan konsekuensi yang muncul dari pemberian kewenangan, agar terjaga keutuhan negara Kesatuan.
 
Pengaturan yang demikian menunjukkan bahwa tarik menarik hubungan tersebut kemudian memunculkan apa yang oleh Bagir Manan disebut dengan spanning antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Memperhatikan uraian tersebut diatas maka timbul beberapa persoalan mengenai pola hubungan antara Pusat dan  Daerah khususnya pada dimensi kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang terkait dengan pola hubungan antara Pusat dan  Daerah khususnya pada dimensi kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah sebagai berikut:
1.      Apa yang menjadi teori dan asas penyelenggaraan pemerintah daerah?
2.      Bagaimana Pola Hubungan Pusat dan Daerah dari dimensi kewenangan Antara DPRD dengan Kepala Daerah? 

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Teori dan Asas-asas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
Terbentuknya satuan pemerintahan tingkat daerah adalah konsekuensi adanya konsep pembagian dan pembatasan kekuasaan sebagai salah satu ciri negara hukum. Sebagaimana diketahui pembagian kekuasaan dikenal adanya pembagian kekuasaan horizontal dan vertikal. [2] pembagian secara horizontal yaitu pembagian kekuasaan yang mana kekuasaan pada suatu negara di bagi dan diserhakan kepada tiga badan, yaitu kekuasaan eksekutif diserahkan kepada pemerintah, kekuasaan legislatif diserahkan pada parlemen dan kekuasaan yudikatif diserahkan pada badan peradilan. Selanjutnya pembagian secara vertikal yaitu pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan satuan pemerintah lainnya yang lebih rendah “dari segi hierarkis atau susunan pemerintahan”.
 
Yang melata belakangi gagasan dianutnya pembagian kekuasaan secara vertikal meliputi bebera sebab diantaranya:[3]
1.      Kemampuan pemerintah berikut perangkatnya yang ada di daerah terbatas;
2.      Wilayah negara sangat luas, terdiri dari 3000 pulau-pulau besar dan pulau kecil;
3.      Pemerintah tidak mungkin mengetahui seluruh dan segala macam kepentingan dan masalah yang dihadapi dan hanya mereka yang mengetahui bagaimana cara yang sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan tersebut;
4.      Hanya rakyat setempatlah yang mengetahui kebutuhan, kepentingan dan masalah yang dihadapi;
5.      Dilihat dari segi hukum, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasl 18 menjamin adanya daerah dan wilayah;
6.      Adanya sejumlah urusan pemerintahan yang bersifat kedaerahan;
7.      Daerah mempunyai kemampuan dan perangkat yang cukup memadai untuk menyelenggarakan urusan rumah tangganya.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut pemerintah berpedoman pada beberapa asas, yaitu:[4]
1.      Asas keahlian, asas keahlian dapat dilihat pada susunan pemerintah pusat. Semuanya diolah oleh ahli-ahli dalam susunan kementerian-kementerian. Berdasarkan asasa keahlian maka setiap ursan pemerintah secara benar dan selektif diserahkan kepada mereka yang mempunyai keahlian atau prfesionalisme di bidangnya.
2.      Asas kedaerahan, dengan bertambah banyaknya kepntingan-kepentingan yang harus dieselenggarakan oleh pemerontah pusat karena semakin majunya masyarakat, maka pemerintah tidak dapat mengurus semua kepentingan-kepentingan tersebut dengan baik tanpa berpegang pada asas kedaerahan dalam menjalankan pemerintahan.
Selanjuntnya dalam peraturan perundangan pemerintah daerah dikenal beberapa asas peyelenggaraan pemerintah daerah , seperti asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan asas pembantuan. Namun sebelum membahas hal tersebut terlebih dahulu dijelaskan pengertian dari desentralisasi dan dekonsentrasi. Secara etimologi istilah desentralisai berasal dari bahasa latin yang berarti De: lepas dan Centrum: pusat, dengan demikian desntralisasi berarti melepaskan dari pusat.  Dari sudut pandang ketatanegaraan desentralisasi merupaka pelimpahan kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah-daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri.[5] Selanjutnya Bagir Manan menjelaskan bahwa secara umum desentralisasi merupakan ‘bentuk atau tindakan memencarkan kekuasaan atau wewenang dari suatu organisasi, jabatan, atau pejabat’.[6] Lebih lanjut Bagir Manan berpendapat bahwa desentralisasi bukan merupakan asas penyelenggaraan pemerintahan daerah, melainkan suatu proses.[7] Lebih jelas pada pasal 1 UU No. 5 tahun 1974 merumuskanDesentralisasi sebagai penyerahan urusan pemrintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya. Sedangkan Dekonsentrasi merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah. Selanjutnya Tugas Pembantuan merupakan tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan/ pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah arau pemerintah daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.
 
Namun lebih jelasnya bahwa dalam desentralisasi dan dekonsentrasi mengandung ciri-ciri tersendiri sebagai berikut:
1.      Ciri-ciri Desentralisasi
  • a.       Bentuk pemencaran adalah penyerahan;
  • b.      Pemencaran terjadi kepada daerah (bukan perorangan);
  • c.       Yang dipencarkan adalah urusan pemerintahan;
  • d.      Urusan pemerintahan yang dipencarkan menjadi urusan pemerintah daerah.
2.      Ciri-ciri Dekonsentrasi
  • a.       Bentuk pemencaran adalah pelimpahan;
  • b.      Pemencaran terjadi kepada pejabat sendiri (perorangan);
  • c.       Yang dipencarkan (bukan urusan pemerintahan) tetapi wewenang untuk melaksanakan sesuatu;
  • d.      Yang dilimpahkan tidak menjadi urusan rumah tanggasendiri.
Memperhatikan ciri-ciri tersebut dapat dikatakan bahwa dalam dekonsentrasi, kekuasaan dan kewenangan urusan pemerintahan hakikatnya masih berada ditangan pemerintah pusat. Hal ini dapat di simpulkan dari istilah “pelimpahan” yang membedakan dengan istilah “penyerahan”.
Berdasarkan hal tersebut maka timbul persoalan hukum berkaitan dengan perbedaan pengelompokan desentralisasi dan dekonsentrasi dalam perspektif yuridis formal. Dalam UU yang mengatur pemerintahan daerah desentralisasi dan dekonsentrasi merupakan asas penyelenggraan pemerintahan daerah, tetapi menurut UUD Negara Republik Indonesia 1945 menyebutkan bahwa yang merupakan asas penyelenggaraan pemerintahan daerah hanya meliputi asas otonomi dan tugas pembantuan. Namun perlu di ingat bahwa dalam teori perundang-undangan khususnya mengenai asas-asas perundang-undangan terdapat assa hirarki. Artinya bahwa peraturan perundangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Konsekuensinya adalah  apabila peraturan yang lebih rendah bertentang degan peraturan yang lebih tinggi maka peraturan tersebut batal demi hukum.  Sebagaimana diketahui bahwa Pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia 1945 hasil amandemen merupakan landasan konstitusional pemerintah daerah, yang memuat paradigma baru dan arah politik pemerintahan daerah sebagai berikut:[8]
1.      Prinsip daerah mengatur dan mngurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan;
2.      Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya ( pasal 18 ayat (5) );
3.      Prinsip kekhususan dan keragaman daerah ( pasal 18 ayat (1) );
4.      Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa (pasal 18 B ayat (1) );
5.      Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya ( pasal 18 B ayat (2) );
6.      prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil ( pasal 18 ayat (2) );
7.      prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum ( pasal 18 ayat (3) ).

Hilangnya Desentralisasi dan Dekonsentrasi sebagai asas penyelenggaraan pemerintahan dari pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia 1945 hasil amandemen merupakan hal yang wajar, mengingat pengertian umum desentralisasi adalah setiap bentuk atau tindakan memencarkan kekuasaan atau wewenang dari suatu organisai, jabatan atau pejabat. Dengan demikian dekonsentrasi secara umum dapat dipandang sebagai bentuk desentralisasi, karena mengandung makna pemencaran.[9]
 Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Desentralisasi dan Dekonsentrasi bukanlah asas penyelenggaraan pemerintahan dengan alasan, baik desentralisasi maupun dekonsentrasi mengandung pengertian/hakikatnya merupakan pemencaran kekuasaan; desentralisasi merupakan proses penyerahan kekuasaan atau wewenang dan dekonentrasi merupakan cara dalam menjalankan sesuatu.
Mengingat bahwa kedudukan UUD Negara Republik Indonesia 1945 lebih tinggi dari UU atu bentuk peraturan lainnya, maka yang menjadi asas penyelenggaraan pemerintahan daerah meliputi:
1.       Asas Otonomi

Secara etimologi otonomi bersala dari kata oto ( auto = sendiri ) dan nomoi ( nomoi =   nomos = undang-undang/aturan) yang berarti mengatur sendiri.
Dalam tata pemerintahan otonomi diartikan sebagai mengatur atau mengurus rumah tangga sendiri. Berikut ini beberapa ahli mengemukakan pengertian otonomi:
a)      Van der Pot menyatakan bahwa pada pokoknya otonomi itu berarti peraturan dan pemerintahan dari urusan sendiri, yang dalam UUD belanda dinamakan” rumah tangga sendiri” [10]
b)      Logemann menyatakan bahwa otonomi berarti memberi kesempatan kepadanya mempergunakan prakarsanya sendiri dari segala macam kekuasaannya untuk mengurus kepentingan umum (penduduk)
c)      Van Vollen Hoven menyatakan bahwa otonomi yaitu kekuasaan bertindak merdeka (Vrij Beweging) yang diberikan kepada satuan-satuan kenegaraan yang memerintah sendiri daerahnya itu, adalah kekuasaan yang berdasarkan inisiatif sendiri itulah yang disebut otonomi.

Selain pendapat beberapa ahli diatas pengertian otonomi juga dapat dilihat dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 pada pasal 18 ayat (2) kata “otonomi” disatukan dengan kata “asas” sehingga dikenal dengan istilah “asas otonomi”, yang menjelaskan anak kalimat sebelumnya, yang berarti “pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus (garis bahaw pen)sendiri urusan pemerintahan”. Berdasarkan hal tersebut “ otonomi” berarti mengatur dan mengurus sendiri.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dipahami bahwa hakikat otonomi tidak lain adalah suatu kebebasan dan kemandirian daerah untuk mengatur sendiri atau menyelenggarakan urusan  serta kepentingannya berdasarkan inisiatif dan prakarsa serta aspirasi masyarakat daerah. Maka prinsip otonomi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara merupakan pilihan yang dilakukan secara cerdas oleh para pendiri negara (The Founding Fathers) pada saat membicarakan dasar negara, meskipun pada akhirnya pilihan otonomi tidak dijadikan materi muatan UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, melainkan akan diatur kemudian dalam undang-undang yang mengatur mengenai pemerintah daerah.

2.      Asas Tugas Pembantuan.

Secara etimologi tugas pembantuan merupakan terjemahan dari bahasa belanda Medebewind/Zelfbestuur yang berasal dari kata mede= serta, turut dan bewind= berkuasa atau memerintah. Medebewind pertama kali diperkenalkan oleh Van Vollen Hoven. Medebewind merupakan peaksanaan peraturan yang disusun oleh alat perlengkapan yang lebih tinggi oleh yang rendah. Zelfbestuur yang merupakan terjelamahan dari bahasa Inggris Selfgovernment yang berarti segala pemerintahan ditiap bagan dari negeri Inggris. Sjachran Basah merumuskan bahwa yang dimaksud dengan tugas pembantuan yaitu menjalankan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya dari pihak lain secara bebas. Secara bebas artinya bahwa terdapat kemungkinan untuk mengadakan peraturan yang mengkhususkan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, agar sesuai dengan kenyataan sbenarnya di daerah-daerah sendiri.[11]
Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa dalam memberikan batasan mengenai tugas pembantuan secara redaksional terdapat perbedaan namun substansinya sama, yakni tugas untuk membantu pelaksanaan urusan pemerintah tingkat atasnya. Hanya saja mengenai hal ini, Bagir Manan mengklasifikasikan tugas pembantuan tersebut sebagai “kewajiban”, artinya bahwa kewajiban untuk mempertanggungjawabkan dalam pelaksanaan urusan tersebut.

Pengertian tugas pemabantuan juga dapat dilihat pada pasal 1 huruf (g) UU NO. 22 tahun 1999  yang menjelaskan bahwa tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelakasanaannya dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.
Berdasarkan pengertian pada pasal tersebut, maka yang terpenting dan perlu di ingat dalam tugas pembantuan adalah unsur pertanggung jawaban yang di emban oleh satuan pemerintahan yang “membantu“.
Dalam menjalankan tugas pembantuan tersebut, urusan-urusan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah itu, masih tetap merupakan urusan pusat c.q. daerah yang lebih atas, tidak beralih menjadi urusan rumah tangga yang dimintakan bantuan, akan tetapi bagaimana daerah otonom yang dimintakan bantuan melakukan tugas pembantuannya. Dalam hal daerah atau satuan pemerintahan yang dimintakan bantuan melaksanakan tugas pembantuan, tidak dapat mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas pembantuan, maka tugas pembantuan tersebut dapat dihentikan dengan tidak menutup kemungkinan pemerintah yang mempunyai urusan pemerintahan tersebut meminta ganti kerugian dari daerah yang tidak bertanggung jawab tersebut.

Memperhatikan hal tersebut mununjukkan asas tugas pembantuan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah merupakan salah satu asas yang sangat penting, bahkan secara tegas dicantumkan dalam pasal 18 ayat (2). Dengan demikian yang perlu diketahui adalah latar belakang atau dasar dipergunakannya asas tugas pembantuan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. berikut ini terdapat 3 latar belakang atau dasar dipergunakannya asas tugas pembantuan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
a)      Keterbatasan kemampuan pemerintah pusat atau daerah yang lebih tinggi dalam hal yang berhubungan dengan perangkat atau sumber daya manusia maupun biaya;
b)      Untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang lebih baik dalam penyelenggaraan pemerintahan;
c)      Sifat urusan yang dilaksanakan.
Berkaitan dengan sifat urusan yang dilaksanakan Ateng Syafruddin memberikan ukuran atau parameter materi muatan yang merupakan tugas pembnatuan, yang meliputi:
a)      Urusan terseubut berakibat langsung kepada masyarakat;
b)      Urusan yang secara tidak langsung tidak memberi dampak terhadap kepentingan masyarakat, karena semata-mata membantu urusan pusat;
c)      Urusan yang meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelayananyang langsung memenuhi kebutuhan masyarakat daerah;
d)     Urusan yang tidak bersifat strategis nasional dan urusan yang tidak memerlukan keseragaman nasional.

Berdasarkan ukuran atau parameter tersebut, maka penyelenggaraan asas tugas pembantuan dapat mendatangkan keuntungan, baik bagi pemerintah daerah atau pemerintah tingkat atasnya. Bagi pemerintah pusat asas tugas pembantuan sangat meringankan beban, baik biaya, aparatur maupun tenaga yang harus dikeluarkan dalam melaksanakan urusan pemerintahan sehingga efisiensi dan efektifitas akan mudah dicapai. Sedangkan bagi daerah keuntungan yang didapatkan yaitu pengalaman dalam berkreasi untuk memilih cara dan mekanisme penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan, sehingga pada saat suatu urusan diserahkan sebagai urusan rumah tangga daerah yang bersangkutan, maka darah tersebut hanya melanjutkan dan menyempurnakannya.
Namun terkait hal diatas Bagir Manan menilai bahwa, selain tidak sesuai dengan perkembangan, ada menfaat lain untuk tidak menarik garis pemisah yang tegas antara otonomi ‘dan tugas pembantuan. Tugas pembantuan dalam hal-hal tertentu dapat dijadikan “terminal” menuju “penyerahan penuh” suatu urusan kepada daerah. dan tugas pembantuan merupakan tahap awal sebagai persiapan menuju kepada penyerahan penuh.

B.     Pola Hubungan Pusat dan Daerah dari Dimensi Kewenangan antara DPRD
dengan Kepala Daerah
Sebelum melangkah lebih jauh mengenai pola hubungan pusat dan daerah dari dimensi kewenangan maka ada baiknya terlebih dahulu perlu diketahui pengertian atau batasan mengenai kewenangan.
 
Kewenangan berasal dari kata dasar “wewenang” yang bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Menurut Bagir Manan Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum sebagimana dikemukakan J.G Steenbeek, bahwa wewenang/kewenangan yang didalamnya terkandung hak dan kewajiban. Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri dan mengelola sendiri. Sedangkan kewajiban mempunyai dua pengertian yaitu secara horizontal dan vertikal.[12]
Salah satu konsekuensi dianutnya sistem otonomi yang menyerahkan kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada daerah-daerah adalah perlunya pengaturan hubungan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah sehingga otonomi daerah di satu sisi dapat dijalankan, dan di sisi lain prinsip negara kesatuan tidak dilanggar. Dengan adanya dasar kewenangan yang sah maka setiap tindakkan dan perbuatan hukum yang dilakukan oleh setiap level pemerintahan dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang sah. Sebaliknya, apabila tanpa ada dasar kewenangan, maka setiap tindakan dan perbuatan hukum yang dilakukan oleh setiap level pemerintah dapat dikategorikan sebagai tindakkan dan perbuatan yang bertentangan dengan hukum (tidak sah) dan dapat juga dikatakan sebagai pelanggaran terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik.
 
Secara khusus, kewenangan pemerintahan juga berkaitan dengan hak, kewajiban, dan tanggung jawab diantara berbagai level pemerintahan yang ada. Dengan demikian, terjadi perbedaan tugas dan wewenang di antara berbagai level pemerintahan tersebut, dan pada akhirnya dapat menciptakan perbedaan ruang lingkup kekuasaan dan tanggungjawab di antara mereka. Oleh karena itu, makna dari perbedaan hak, kewajiban dan tanggungjawab dari berbagai level pemerintahan yang ada merupakan suatu hal yang secara pokok menggambarkan secara nyata kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing level pemerintahan yang ada di suatu negara.
Kewenangan biasa juga disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari atau yang diberikan oleh Undang-undang, yaitu kekuasaan Legislatif dan kekuasaan Eksekutif atau Administratif.  Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan hukum public, misalnya wewenang menerbitkan surat izin dari seorang pejabat atas nama Menteri atau Gubernur Kepala Daerah, sedangkan kewenangan tetap berada ditangan Menteri/Gubernur Kepala Daerah, dalam hal ini terdapat pendelegasian wewenang, jadi dalm kewenangan terdapat wewenang-wewenang (Rechtsbevoegheden).[13]
Pasal 18 A ayat (1) UUD 1945 memberikan dasar konstitusional pengaturan hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyebutkan bahwa; “Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”.
 
Berdasarkan ketentuan tersebut, untuk mengatur hubungan kewenangan pusat dan daerah yang diamanatkan UUD 1945 dapat dilakukan melalui berbagai peraturan perundang-undangan, baik yang khusus mengatur otonomi daerah, atau tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan sektoral lainnya. Hal ini didasarkan pada kenyataaan empiris dan yuridis yang menggambarkan bahwa materi dan cakupan pengaturan tentang hubungan kewenangan pusat dan daerah tidak dapat hanya diatur oleh satu undang-undang. Hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya terkait dengan berbagai sektor lain yang tidak dapat diperlakukan secara sama. Oleh karena itu diperlukan adanya undang-undang yang khusus mengatur hubungan kewenangan pusat dan daerah secara umum serta dibutuhkan pula berbagai undang-undang lainnya yang berkaitan dengan otonomi daerah.
Hubungan kewenangan adalah hubungan antara organ pemerintah daerah, yaitu antara DPRD dengan kepala daerah yang sifatnya satu arah atau dua arah (timbal balik) dalam rangka menjalankan urusan pemerintahan yang didistribusikan dan didelegasikan dari pemerintah Pusat sebagai urusan otonomi dan pembantuan. Rumusan tersebut mengandung beberapa hal yaitu:[14]
1.      Hubungan kewenangan antara kedua organ pemerintahan daerah (DPRD dengan Kepala Daerah) adalah hubungan dalam rangka menjalankan otonomi dan tugas pembantuan;
2.      Hubungan  kewenangan tersebut dalam rangka menjalankan urusan di bidang administrasi negara (pemerintahan) bukan dalam bidang ketatanegaraan;
3.      Hubungan kewenangan tersebut dapat bersifat sepihak (searah) dan juga dapat bersifat dua pihak (dua arah) atau timbal balik;
4.      Hubungan kewenangan antara kedua organ tersebut tetap dalam kerangka konsep atau prinsip negara kesatuan;
5.      Dari segi kedudukannya, hubungan kewenangan antara DPRD dengan kepala daerah adalah sederajat dan ttidak saling mendominasi satu sama lainnya.

Berdasarkan uraian diatas dapat di simpulkan bahwa, hal mendasar dalam hubungan kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah adalah melaksanakan urusan pemerintahan di bidang otonomi dan tugas pembantuan.
Bila di telusuri lebih jauh mengenai ketentuan yang mengatur tentang kewenangan DPRD dan Kepala Daerah di berbagai peraturan perundang-undangan berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia tahun1945, maka hubungan kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah dapat di kelompokkan kedalam beberapa jenis yaitu:
1.      Hubungan Pemilihan; Hubungan pemilihan adalah hubungan yang erat kaitannya dengan pelaksanaan wewenang DPRD sebagai Wakil Rakyat untuk menyeleksi dan memilih Kepala Daerah sebagai organ yang bertanggung jawab melaksanakan pemerintahan sehari-hari. Hubungan ini bersifat satu pihak (satu arah)
2.      Hubungan Perundang-undangan; Hubungan ini merupakan konsekuensi dari pemerintahan yang berotonomi dalam rangka mengatur dan mengurus rumah tangganya sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan rakyatnya. Hubungan ini bersifat timbal balik (dua arah).
3.      Hubungan Anggaran; Hubungan anggaran yaitu hubungan kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah dalam rangka penyusunan RAPBD dan menetapkan APBD serta perubahan APBD. Hubungan ini juga bersifat timbal balik (dua arah).
4.      Hubungan Pengawasan; hubungan pengawasan yaitu hubungan yang dimiliki oleh anggota DPRD dan DPRD secara kelembagaan terhadap Kepala Daerah sebagai pencerminan dari pemerintahan yang demokratis. Hubungan ini bersifat satu pihak (satu arah).
5.      Hubungan Pertanggung jawaban; Hubungan pertanggung jawaban yaitu suatu instrument untuk melihat, mengevaluasi dan menguji sejauh mana penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu periode tertentu terlaksana atau belum sesuai dengan rencaca dan program yang ditetapkan berdasrkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. hubungan ini bersifat satu pihak (satu arah).
6.      Hubungan Administrasi; Hubungan administrasi yaitu hubungan dalam hal pengangkatan pejabat birokrasi daerah, misalnya sekretaris daerah dan sekretaris dewan serta pejabat politik seperti wakil kepala daerah (Wakil Gubernur). Hubungan ini bersifat Administratif.

Berdasarkan jenis-jenis hubungan kewenangan tersebut, maka pada prinsipnya,urgensi hubungan antara DPRD dan Eksekutif meliputi hal-hal seperti; Representatif, Anggaran, Pertanggung jawaban, Pengawasan, Pembinaan peraturan, Pembuatan Peraturan Daerah dan Pengangkatan Sekretaris Daerah. 

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan 
 
1.      Mengingat bahwa kedudukan UUD Negara Republik Indonesia 1945 lebih tinggi dari UU/ peraturan perundangan lainnya maka yang menjadi asas penyelenggaraan pemerintahan daerah meliputi Asas Otonomi dan Asas Pembantuan. Desentralisasi dan Dekonsentrasi bukanlah asas penyelenggaraan pemerintahan dengan alasan, baik desentralisasi maupun dekonsentrasi mengandung pengertian yang hakikatnya merupakan pemencaran kekuasaan; desentralisasi merupakan proses penyerahan kekuasaan atau wewenang dan dekonsentrasi merupakan cara dalam menjalankan sesuatu.
 
2.      Hubungan kewenangan adalah hubungan antara organ pemerintah daerah, yaitu antara DPRD dengan kepala daerah yang sifatnya satu arah atau dua arah (timbal balik). Hal mendasar dalam hubungan kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah adalah melaksanakan urusan pemerintahan di bidang otonomi dan tugas pembantuan. urgensi hubungan antara DPRD dan Eksekutif meliputi hal-hal seperti; Representatif, Anggaran, Pertanggung jawaban, Pengawasan, Pembinaan peraturan, Pembuatan Peraturan Daerah dan Pengangkatan Sekretaris Daerah.
B.     Saran 
 
1.      Perlu adanya pengaturan yang lebih jelas mengenai ukuran atau indikator tertentu dalam penyelenggaraan/pelaksanaan suatu urusan pemerintahan agar dapat dilakukan dengan baik dan mencapai sasaran yang diharapkan.
2.       Perlu adanya Publikasi dan Transparansi pertanggung jawaban Kepala Daerah kepada masyarakat demi tercapainya Good Governance.


Basah Sjachran, 1986, Tiga Tulisan tentang Hukum, Armico, Bandung.